Minggu, 22 Januari 2012

STUDI TOKOH TASAWUF SUNNI (AL-GHAZALI DAN TASAWUFNYA)

PENDAHULUAN
  1. Riwayat Hidup Al-Ghazali

Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Abu Hamid Al-Ghazali yang dijuluki sebagai Abu Hamid1. Beliau dilahirkan di Thus, suatu kota di Kurasan pada tahun 450 H. Ayahnya seorang pekerja pembuat pakaian dari wol dan menjualnya di pasar. Setelah ayahnya meninggal, Al-Ghazali diasuh oleh seorang ahli tasawuf.

Pada masa kecilnya ia mempelajari ilmu fiqh di negerinya sendiri pada Syeh Ahmad bin Muhammad Ar-Rasikhani, kemudian belajar pada Imam Abi Nasar Al-Ismaili di negeri Jurjan. Setelah mempelajari beberapa ilmu di negerinya, maka ia berangkat ke Nishabur dan belajar pada Imam Al-Haromain, disinilah ia mulai kelihatan ketajaman otaknya yang luar biasa dan dapat menguasai beberapa ilmu pengetahuan pokok pada masa itu, seperti ilmu mantik (logika) falsafah dan fiqh madzhab Syafi’i, karena kecerdasanya itulah Imam Al-Haromain mengatakan bahwa Al-Ghazali adalah “Lautan tak bertepi”.

Setelah Imam Al-Haromain wafat, Al-Ghazali pergi ke Al-Ashar untuk berkunjung kepada menteri Nizam Al-Muluk dari pemerintahan dinasti Saljuk, ia di sambut dengan penuh kehormatan sebagai seorang ulama dan para ilmuan semuanya mengakui akan ketinggian ilmu yang dimiliki Al-Ghazali. Menteri Nizam Al-Muluk akhirnya melantik Al-Ghazali pada tahun 484 H/1091 M,, sebagai guru besar (profesor) pada perguruan tinggi Nizamiyah yang berada di

kota Baghdad, Al-Ghazali kemudian mengajar selama 4 tahun, ia mendapat perhatian yang serius dari mahasiswa, baik yang datang dari dekat atau dari tempat yang jauh, sampai ia menjauhkan diri dari keramaian.

Pada tahun 488 H, Al-Ghazali pergi ke Makkah untuk menunaikan kewajiban rukun Islam yang kelima, setelah menyelesaikan haji, ia terus ke Syiria (Syam) untuk mengunjungi Baithul Maqdis, kemudian melanjutkan perjalanannya ke Damaskus dan menetap untuk beberapa lama. Disini ia beribadah di masjid Al-Umawi pada suatu sudut hingga terkenal sampai sekarang dengan nama Al-Ghazaliyah.

Pada saat itulah ia sempat mengarang sebuah kitab tersebut dan sangat terkenal, yaitu Ihya Ulumuddin. Al-Ghazali tinggal di Damaskus kurang lebih selama 10 tahun, ketika itu ia hidup dengan sederhana, berpakaian sederhana, menyedikitkan makan dan minum, mengunjungi masjid-masjid, memperbanyak ibadah atau berbuat yang dapat mendekatkan diri pada Allah swt, dan berkhalwat.

Setelah penulisan Ihya Ulumuddin selesai, ia kembali ke Baghdad, kemudian mengadakan majelis pengajaran dan penerangan isi dan maksud dari kitabnya itu, tetapi karena ada desakan dari penguasa pada waktu itu Al-Ghazali diminta kembali ke Naizabur dan mengajar di perguruan tinggi Nazamiyah pekerjaan ini hanya berlangsung 2 tahun, untuk akhirnya kembali ke kampung asalnya Thus, Di kampungnya Al-Ghazali mendirikan sebuah sekolah yang berada disamping rumahnya, untuk belajar para fuqoha dan para muthashawwifin (ahli tasawuf). Ia membagi waktunya guna membaca Al-Qur’an, mengadakan pertemuan dengan para fuqoha dan ahli tasawuf, memberikan pelajaran bagi orang yang ingin mengambilnya dan memperbanyak ibadah (shalat). Dikota inilah akhirnya beliau meninggal pada hari senin tanggal 14 Jumadil Akhir 505 H atau 1111 M.



















PEMBAHASAN

A. Al-Ghazali dan Tasawufnya

Al-Ghazali di kenal sebagai orang yang haus akan segala ilmu pengetahuan, ia berusaha sekeras mungkin agar dapat mencapai suatu keyakinan dan mengetahui hakikat sesuatu, sehingga senantiasa ia bersikap kritis dan kadang ia tidak percaya terhadap adanya kebenaran semua macam pengetahuan, kecuali yang bersifat indrawi dan pengetahuan yang tidak hakekat (oxioma atau sangat mendasar). Namun pada kedua pengetahuan inipun ia akhirnya tidak percaya (skeptis). Hal ini ia ungkapkan pada kitab Al-Mungkidz yaitu: “ Sikap skeptis yang menimpa diriku dan yang berlangsung lama telah berakhir dengan suatu keadaan, dimana diriku tidak mempercayai kepada pengetahuan indrawi, bahkan keragu-raguan ini semakin mendalam, dengan perkataanya: Bagaimana pengetahuan indrawi ini bisa diterima seperti misalnya penglihatan sebagai indera yang terkuat, ketika engkau melihat bayangan disangkanya diam, tidak bergerak, tetapi dengan eksperimen dan analisa, sesudah, beberapa saat, engkau melihat bahwa bayangan itu bergerak, meskipun tidak sekaligus, melainkan perlahan-lahan, sedikit demi sedikit, sehingga diketahui sebenarnya bayangan itu tidak mengenal diam. Demikian pula engkau, saat engkau melihat bintang, maka dikira ia kecil sebesar uang dinar, tetapi bukti yang sebenarnya menunjukan bahwa bintang itu lebih besar dari pada bumi”.

Setelah mengkaji aliran-aliran teolog, filosof dan batiniyah tersebut akhirnya Al-Ghazali memilih jalan tasawuf. Menurutnya para sufilah pencari kebenaran yang paling hakiki, lebih jauh lagi menurutnya, jalan para sufi adalah paduan ilmu dengan amal, sementara sebagai buahnya adalah moralitas. Juga tampak olehnya, bahwa mempelajari ilmu para sufi lewat karya-karya mereka ternyata lebih mudah ketimbang mengamalkanya, bahkan ternyata pula bahwa keistimewaan khusus milik para sufi tidak mungkin tercapai hanya dengan belajar, tetapi harus dengan ketersingkapan batin, keadaan rohaniyah, serta penggantian tabiat-tabiat. Dengan demikian, menurutnya, tasawuf adalah semacam pengalaman maupun penderitaan yang riil. Mengenai hal ini Al-Ghazali memberi contoh: Betapa bedanya orang yang sekedar tahu batas-batas kesehatan atau kekenyangan berikut sebab serta syarat keduanya, dengan orang yang benar-benar mengalami sehat ataupun kenyang. juga antara sekedar mengetahui, batas-batas fana (ekstase) dengan benar-benar mengalami keadaan fana. Bahkan seseorang yang sedang mengalami keadaan fana tidak tahu lagi batas-batas fana. Sementara seorang dokter, dalam keadaan sakit, tahu batas-batas kesehatan, begitu halnya perbedaan tahu realitas asketisisme, syaratnya, dan penyebabnya, dengan benar-benar mengalami keadaan asketis ataupun menahan diri dari hal-hal duniawi.

Karena itu, sebagaimana yang dinyatakan Al-Ghazali, para sufi adalah orang-orang yang lebih mengutamakan keadaan rohaniyah ketimbang ucapannya. Setelah mengkaji tasawuf, Al-Ghazali pun sepenuhnya menyerahkan dirinya menempuh jalan para sufi. Inilah jalan yang akhirnya membuatnya terlepas dari krisis rohaniyah yang menimpa dirinya, dimana dirinya sendiri serta tidak terpedaya oleh yang sebaliknya. Seandainya karya-karya Al-Ghazali di bidang tasawuf dikaji secara dalam, maka tampak betapa dia telah berhasil menjadikan tasawuf sebagai ilmu dengan pengertiannya yang luas.

Kita bisa mengatakan bahwa Al-Ghazali telah menggambarkan sebuah jalan menuju Allah, yang dimulai dengan perjuangan melawan hawa nafsu, kemudian mujahadah (perjuangan melawan hawa nafsu) menjadikan jiwa melakukan pendakian-pendakian dalam tangga-tangga (maghomat) jalan ini dan kondisi kondisinya untuk sampai pada fana’, pengesaan (tauhid), pengetahuan, dan kebahagiaan. Berikut ini, adalah penjelasan-penjelasan diatas.

1. Jalan (At-Thariq)

Sebagaimna Al-Ghazali telah menguraikan perkembangan rohaniyahnya dalam karyanya, Al-Munkgidz min Al-Dhalal maka begitulah dia menguraikan jalan tasawuf dalam karyanya, Ihya ‘Ulumuddin, dapat dikatakan bahwa karyanya yang terakhir ini. Seluruhnya, sekalipun begitu tebalnya karyanya ini adalah uraian tentang jalan bagi seorang penempuh yang menuju jalan Allah sejak awal mulanya, berbagai fasenya, dan ujung akhirnya.

Ihya Ulumuddin disusun Al-Ghazali, menjadi 4 bab utama, yaitu: bab ibadah, adat istiadat, hal yang mencelakan dan hal yang menyelamatkan, masing-masing bab terbagi dalam sepuluh pasal,

  1. Bab ibadah memperbincangkan pasal-pasal ilmu, prinsip-prinsip aqidah, ibadah, peraturan membaca Al-Quran , dzikir, doa, dan urutan wirid.

  2. Bab adat istiadat Al-Ghazali memperbincangkan peraturan makan, perkawinan, mata pencaharian, halal, haram, persahabatan, hidup menyendiri, bepergian belajar, tafakur, menganjurkan kebajikan dan mencegah kebatilan.

  3. Bab tentang hal-hal yang mencelakan, Al-Ghazali menaruh perhatian terhadap segala yang berkaitan dengan jiwa, hawa nafsu yang timbul darinya, ataupun keburukan, keburukan mental seperti, marah, dengki, kikir, riya, sombong, dan sebagainya.

  4. Bab yang terakhir atau bab keempat Al-Ghazali menguraikan tingkatan-tingkatan taubat, sabar, syukur, rasa takut, rasa harap, hidup fakir, hidup asketis, tauhid, tawakal, cinta, rindu, akrab, dan ridho. Bahkan bahkan secara terinci diapun menyinggung pengertian-pengertian niat, jujur, ikhlas, pendekatan diri pada Allah, intropeksi diri, serta kematian.

Disamping itu Al-Ghazali pun mengatakan bahwa jalan kesufian mengacu kepada:”Pensucian, pembersihan, penerangan, dan kemudian kesiapan dan penantian (menerima pengetahuan)2.

Dari pendapatnya tersebut tampak jelas bahwa menurut Al-Ghazali tujuan para sufi adalah penempuhan fase-fase moral dengan latihan jiwa, serta penggantian moral yang tercela dengan moral yang terpuji, sehinggga dengan ini, seorang penempu jalan tersebut akan mencapai pengenalan Allah.

Al-Ghazali mendeskripsikan latihan rohaniyah, yang sesuaidengan tabiat yang terpuji, sebagai kesehatan kalbu, dan hal ini lebih dia perioritaskan ketimbang kesehatan jasmani, sebab penyakit anggota tubuh luar hanya akan membuat hilangnya kehidupan didunua ini saja, sementara penyakit kalbu akan membuat hilangnya kehidupan yang abadi, kesehatan kalbu ini harus dipelajari semua orang yang mempunyai akal budi. Semua hamba Allah harus berupaya mengetahui pembangkit dan penyebabnya, sebab penyembuhannya itulah yang dimaksud dengan firman Allah: “Sesungguhnya, beruntunglah orang yang menyucikan jiwanya”. Sementara pengabaiannya ialah yang di maksud dengaan firman-Nya:” Dan sesungguhnya, merugilah orag yang mengotorinya.

Menyinggung sarana-sarana oprasional latihan mistis, antara lain ialah perlunya seorang guru bagi seorang penempuh jalan sufi, bagi seorang guru yang menjadi panutan, hendaknya ia mempunyai perbedaan-perbedaan individual antara murid-muridnya.

Seorang murid yang menempuh jalan para sufi, menurut Al-Ghazali harus konsisten menjalani hidup menyendiri, diam, menahan lapar, dan tidak tidur malam hari. Hal ini semua dimaksudkan untuk membina kalbunya, supaya dia bisa menyaksikan Tuhanya. Menurut Al-Ghazali, hidup menyendiri tersebut merujuk pada kehidupan Rasulullah saw ketika hidup menyendiri di gua hiro.

Menurut Al-Ghazali, diam akan menyuburkan akal budi, membangkitkan kerendah hatian, dan mengajarkan ketakwaan, namun Al-Ghazali tidak mengartikan diam dengan sepenuhnya mencegah diri dari berbicara, yang dia maksudkan adalah, hendaknya seorang murid tidak berbicara kecuali hanya seperlunya saja.

Manfaat ketahanan lapar, bagi seorang penempuh jalan para sufi ialah untuk mencerahkan kalbu, sementara tidak tidur malam hari dimaksudkan untuk mencerahkan kalbu, menjernihkanya serta membuatnya cemerlang. Para sufi yang terhimpun dalam berbagai tarikat, setelah masa Al-Ghazali banyak berpengaruh prinsip-prinsip jalan para sufi yang disusun Al-Ghazali tersebut, khususnya para sufi penganut Syadziliyyah.

2. Ma’rifat (pengetahuan)

Dalam berbagai karyanya, khususnya Ihya ‘Ulumuddin, secara terinci Al-Ghazali telah membahas pengetahuan mistis dari segi pencapaianya, metodenya, obyeknya, dan tujuannya, serta pembandingannya dengan pengetahuan, para teoritisi yang bukan sufi, yang mendasarkan diri pada metode-metode akal budi.

Menurut Al-Ghazali, sarana ma’rifat seorang sufi adalah kalbu, bukanya perasaan dan bukan pula akal budi, kalbu menurutnya bukanlah bagian tubuh yang terletak disebelah kiri dada manusia, tapi adalah percikan rohaniyah ketuhanan yang merupakan hakikatnya realitas manusia.

Kalbu, menurut Al-Ghazali bagaikan cermin, sementara ilmu adalah pantulan gambar relitas yang terdapat didalamnya,. Menurut Al-Ghazali jika cermin kalbu tidak bening maka ia tidak dapat memantulkan realitas-realitas ilmu. Sedangkan yang membuat cermin kalbu tidak bening adalah hawa nafsu, sementara ketaatan kepada Allah serta keterpalingan dari tuntutan hawa nafsu itulah yang justru membuat kalbu berlinang dan cemerlang.

Menyinggung bagaimana kalbu menjadi sarana ma’rifat seorang sufi, Al-Ghazali menguraikanya dengan contoh berikut: Andaikan kita bayangkan suatu lembah yang kedalamanya mengalir air dari berbagai sungai atau mungkin juga yang menerobos lewat sela-selanya sehingga airnya lebih jernih serta bening atau mungkin begitu banyak dan deras, begitu halnya kalbu yang bagai lembah itu.

Contoh lain yang diberikan Al-Ghazali tentang pengetahuan yang diperoleh kalbu ini, ialah bagaikan kilat yang tidak tetap dan lalu muncul kembali. Jelasnya metode pengetahuan dari Al-Ghazali maupun para sufi lainya berbeda pengetahuan dengan metode pengetahuan dari para teolog ataupun filosof, Al-Ghazali secara rinci telah mengadakan perbandingan kedua metode tersebut: dan menurut Al-Ghazali, metode pengetahuan para sufi adalah iluminasi yaitu uraian tentang apa yang tetutup bagi pemahaman, yang tersingkap bagi seseorang, seakan ia melihat dengan mata telanjang. Sedangkan metode para sufi adalah metode cita rasa khusus, yaitu pemahaman, intuitif langsung yang bebeda dengan pemahaman sensual langsung maupun pemahaman rasional langsung atau pemahaman indera, lalu terkadang Al-Ghazali mendeskripsikan iluminasi sabagai cahaya yang dituntunkan Allah dan kalbu. Menurutnya iluminasi adalah metode pengetauan yang tertinggi, dan dia membagi para arifin (orang yang memporeh ma’rifat) dengan dasar dan metode mereka dalam tiga tingkat.

Pertama, orang awam, metode pengetahuannya adalah peniruan penuh, kedua orang teolog metode pengetahuannya adalah pembuktian rasional, dan peringkatnya, menurut Al-Ghazali mendekati peringkat orang awam, ketiga orang arif yang sufi, metode pengetahuannya adalah penyaksian dengan cahaya yakin.

Ilmu yang diperoleh tidak lewat pembuktian maupun pengkajian disebut ilham, sementara ilmu yang diperoleh lewat pembuktian disebut dengan renungan atau wawasan, lalu ilmu yang melekati kalbu tanpa usaha seseorang dibagi menjadi dua, ilmu yang tidak diketahui bagaimana dan darimana memperolehnya, dan dua ilmu yabg diberitahukan dari mana memperolehnya yaitu lewat pemberitahuan malaikat. Ilmu yang pertama disebut ilham atau inspirasi sedangkan yang kedua disebut wahyu.

Menurut Al-Ghazali bisa dipahami bahwa pengetahuan para wali atau sufi diperoleh langsung dari Allah, sedangkan pengetahuan para nabi melalui perantara obyek pengetahuan mistis adalah dzat Allah, sifat-sifatnya dan tindakannya.

Tujuan-tujuan pengetahuan, menurut Al-Ghazali adalah moral yang luhur, cinta pada Allah, fana didalamnya dan kebahagiaan cinta kepada Allah dipandang Al-Ghazali sebagai buah pengetahuan “Barang siapa mencintai selain Allah, hal itu timbul karena kebodohannya dan kekurang tahuannya terhadap Allah”.3

3. Fana Dalam Tauhid atau Ilmu Mukasyafah

Menurut Al-Ghazali, seorang arif tidak melihat yang selain Allah serta tidak tahu selainnya, karena itu, barang siapa memandang seluruh semesta dari segi bahwa itu kreasi Allah, dan mencintainya bahwa itu adalah kreasi Allah, maka tidak ada yang dipandangnya kecuali Allah, dan tidak ada yang dicintainya kecuali Allah.

Dengan keadaan yang begini, dia adalah orang yang mengesakan Allah sebenar-benarnya, dan tidak melihat yang selain Allah, bahkan dia tidak memandang dirinya dari segi dirinya sendiri, tetapi dari segi predikatnya sebagai hamba Allah. Inilah yang dimaksud dengan fana dalam tauhid atau fana dari dirinya sendiri.

Al-Ghazali mengklasifikasikan tasawuf menjadi 2 bagian:

1. Tasawuf sebagai ilmu mu’amalah, inilah yang diuraikan dalam karyanya Ihya ‘Ulumuddin.

2. Tasawuf sebagai ilmu mukasafah, ilmu ini tersendiri menurutnya tidak boleh dituliskan.

Mengenai realitas tauhid, Al-Ghazali mengemukakan teorinya dalam karyanya, Ihya ‘Ulumuddin, ia mengklasifikasikan tauhid menjadi 4 peringkat:

  1. Tauhid seseorang yang menyatakan tidak ada Tuhan selain Allah, sementara kalbunya melalaikan makna ucapannya maka ini tauhid orang-orang munafik.

  2. Tauhid seseorang yang membenarkan makna ungkapan-ungkapan syahadat tersebut, maka ini seperti halnya sebagian umat Islam. Dan ini adalah tauhid orang awam.

  3. Tauhid seseorang yang menyaksikan kebenaran ungkapan tersebut secara iluminasi, dengan cahaya yang maha benar ini adalah peringkat orang-orang yang dekat dengan Allah (Al-Muqorrobin) dimana dia melihat yang jamak, tapi dalam kejamakanya itu justru ia melihat kesemuanya berasal dari zat yang tunggal lagi menguasai.

  4. Tauhid seseorang yang tidak melihat dalam wujud kecuali hal yang tunggal. Maka ini penyaksian orang-orang yang benar (As-Shiddiqin) dan hal ini oleh para Sufi disebut kefanaan dalam tauhid.

R.A Nicholson menilai bahwa dengan teorinya tersebut, Al-Ghazali telah mematahkan pendapat para Sufi penganut panteisme, sebagaimana yang dikatakanya, sementara Al-Ghazali tetap berpendapat pada 2 keutamaan: pertama, penghormatan terhadap hukum agama dan kedua terhadap pendapatnya tentang ketuhanan.

Hakikat teori Al-Ghazali mengenai kefanaan dalam Allah inipun dikemukakan W.T Stace, dengan uraian yang filosofis, bahwa Al-Ghozali menolak penafsiran atas pengamalan fana yang mengharuskan terjadinya penyatuan dengan Allah.

4. Pengungkapan Ilmi Mukasyafah secara simbiolis

Al-Ghazali sependapat dengan para sufi lainya bahwa begitu sulit untuk mengungkapkan hakikat secara relitas tauhid, dan bahasa biasa tidak cukup mampu untuk mengungkapkannya secara tepat, sekalipun komposisi bahasa Al-Ghozali secara umum mudah dimengerti namun hanya dalam batas ruang lingkup mu’amalah saja, sementara yang menyangkut ilmu mukasyafah sulit untuk dituliskan. Al-Ghazali beranggapan bahwa orang yang sampai pada mukasyafah telah masuk kedalam hakikat4.

Ilmu mu’amalah adalah jalan kepadanya, karena para nabi pun tidak memperbincangkan kepada para pengikutnya, kecuali tentang ilmu mu’amalah dan petunjuk tentangnya, sementara yang menyangkut ilmu mukasafah , mereka tidak memperbincangkan kecuali dengan symbol ataupun isyarat dalam bentuk missal dan secara global.

Menurut Al-Ghazali ilmu mukasyafah adalah ilmu yang tersembunyi, dan hanya diketahui oleh mereka yang benar-benar mengetahui Allah, karena itulah mereka hanya menggunakan simbol-simbol khusus serta tidak memperbincangkannya diluar kalangan sendiri, sebagaimana yang dikatakan Al-Ghazali;

“ Pengetahuan-pengetahuan yang begini, yang hanya dikemukakan melalui isyarat, tidak diperkenankan untuk diketahui setiap manusia”.

Begitu halnya dengan dengan orang yang pengetahuan tersebut tersingkapnya padanya. Dia tidak boleh mengungkapkannya kepada orang yang pengetahuan tersebut tidak disingkapkan atasnya.

5. Kebahagiaan

Al-Ghazali berpendapat bahwa kebahagiaan adalah tujuan akhir jalan para sufi, sebagai buah pengamalan terhadap Allah. Tentang kebahagiaan ini Al-Ghazali mengemukakan teorinya dalam karyanya, Kimia Al-Sa’adah, menurut Al-Ghazali jalan menuju kebahagiaan itu adalah ilmu serta amal, sebagaimana yang dikatakanya: “Seandainya anda memandang kearah ilmu, anda melihatnya bagaikan begitu lezat, asal kebahagiaan di dunia dan akhirat itu sebenarnya ilmu”.

Teori kebahagiaan, menurut Al-Ghazali, didasarkan pada semacam analisa psikologis, dan dia menekankan pula bahwa setiap bentuk pengetahuan itu asalnya bersumber dari semacam kelezatan atau kebahagiaan5.

Kebahagiaan setiap sesuatu, menurut Al-Ghazali adalah kelezatan dan keterbuaiannya, maka kelezatan sesuatu itu hendaklah selaras dengan tabiatnya, sebab tabiat sesuatu adalah apa yang diciptakan baginya, kelezatan mata, misalnya, adalah pada gambar-gambar indah, dan kelezatan telinga pada suara-suara merdu, begitulah halnya organ-organ tubuh yang lain, masing-masing mempunyai kelezatan tertentu. Adapun kelezatan khusus kalbu adalah pengenalan terhadap Allah, dan kalbu memang diciptakan untuk mengenal-Nya. Menuerut Al-Ghazali, kelezatan tertinggi dan terluhur adalah pengenalan terhadap Allah. Disamping itu, semua kelezatan yang berkaitan dengan organ-organ tubuh akan sirna bersama kematian, namun tidak begitu halnya dengan dengan kelezatan yang timbul dari pengenalan terhadap Allah, sebab kelezatan atau kebahagiaan ini tidak akan sirna selamanya.

Manusia tidak hanya menikmati kelezatan pengenalan terhadap Allah itu setelah meningga dunia saja, tetapi diapun bisa menikmatinya ketika dalam keadaan sadar, yaitu, ketika ia mampu melihat apa-apa yang biasanya terlihat hanya dalam keadaan mimpi. Dalam keadaan begitu, dia akan mampu menyaksikan berbagai hakikat realitas yang tertinggi, dan kepadanya pun alam melakui, disingkapkan semua ini mustahil tercapai kecuali dengan keterpalingannya dari berbagai pesona materi, ilusi, maupun kelezatan yang fana.

B. Al-Ghazali Sebagai Tokoh Kalam

Kedudukan Al-Ghazali dalam aliran Asy ‘Ariyah sangat penting, karena ia telah meninjau semua persoalan yang telah ada dan memberikan pendapat-pendapatnya yang hingga kini masih dipegangi ulama-ulama islam yang karenanya ia mendapat gelar Hujjatul Islam (tokoh islam).

Beberapa kitabnya berisi pernyataan tidak simpatik terhadap ilmu kalam, ia mengatakan bahwa pembicaraan para mutakallimin didasarkan atas alasan-alasan yang datangnya dari lawanya atau diambil diambil dari nas Al-Qur’an dan Hadits, semata-mata ilmu kalam tidak lain sifatnya sebagai obat, yang meskipun berguna bagi penyakit lainnya, malah dapt berbahaya. Dalam Ihya ‘Ulumuddin lebih jelas lagi perkataanya, yaitu bahwa ilmu tentang Allah, sifat-sifat dan perbuatanya tidak bisa dicapai dengan ilmu kalam, bahkan imu ini bisa menghalang-halanginya. Apalagi sebagian bidang ilmu kalam tidak lagi membicarakan hal-hal yang bertalian dengan agama dan yang tidak pernah disinggung oleh masa-masa permulaan Islam.

Akan tetapi rupanya pernyataanya tersebut tidak mencerminkan pendiriannya yang terakhir, karena dalam kitabnya Ar-Risalah Ad-Dhiniyah, ia mengaku bahwa ilmu tauhid adalah ilmu yang termulia dan terpenting yang harus dimiliki oleh setiap orang.

Bagaimana pun juga sikap Al-Ghazali terhadap ilmu kalam, namun ia masih tetap setia kepada pokok-pokok persoalan yang pernah dibahas oleh Al-As’ari, disamping memperluas dan memperdalam lapangan pembicaraan dan memperbaharui metodenya.

Dalam soal metode ia menggunakan logika Aristoteles dan ia adalah orang yang pertama-tama mempergunakannya, meskipun Al-Juwaini sebelum dia, telah membuka jalan kearah itu, metode yang baru ini nampak jelas dalam kitab-kitabnya:

  • Tahafut Al-Falasifah (Keruntuhan Filosof-Filosof)

  • Ar-Raddu’alal Bathiniyah (Menentang Aliran Bathin)

  • Al-Iqtishod Fi Ilmi Al-I’tiqod (Jalan Tengah Dalam Kepercayaan)

  • Ar-Risalah Al-Qudsiyyah (Risalah yang dikarang di Kota Qudsi)

Karena pemikiran atau penyelidikannya babas luas, lebih tepat kalau dikatakan bahwa ia bukan pengikut Asy ‘Ariyah atau aliran lainya. Karena itu, meskipun ia sering cocok pendapatnya atau pendiriannya dengan asy’ari, namun ia sering juga berbeda dengannya. Ia mencela keras taklid kuta dan akses kefanatikannya yang sering menimbulkan tuduhan telah menjadi kafir terhadap orang lain yang berbeda pendirian. Sikap Al-Ghazali ini di kemukakan dalam kitabnya Faisal At-Tafriqoh Baina Al Islam Wa Zandaqoh (Wasit Pemisah Antara Islam dan Aliran tak Berketuhanan). Karena sikapnya itu, pengikut-pengikut aliran Asy ’Ariyah sering menuduhnya telah keluar dari agama.

C. Al-Ghazali Sebagai Filosuf Islam

Apabila mengulas beberapa buku Al-Ghazali, maka kita dapat merasakan bahwa betapa besar andilnya dalam membenarkan Islam yang berbeda dengan pemikiran para fuqoha, para filosuf maupun para teolog.

Mungkin Imam Al-Ghazali sendiri tidak rela apabila dikatagorikan sebagai filosuf islam, karena ia telah menyerang habis-habisan, bahkan mengatakan kufur kepada filsafat dan para pemukanya. Namun dalam kenyataannya ia seorang filosuf besar, filosuf yang sebenarnya, hal ini mau tidak mau, yang telah menjuruskan pemikiran filsafatnya kedalam Islam. Bukti-bukti yang mendukungia seorang filosuf antara lain adalah:

  1. Al-Ghazali dalam menulis sebagian kitab-kitabnya ditujukan untuk menyerang berbagai kalangan seperti para fuqoha, filosuf dan para teolog, sedang sebagian kitab-kitab lainya memaparkan sudut pandang yang direlai dan dan dipertahankan, itu semua karena faktor-faktor yang esensial yaitu problema filsafat yang merupakan tingkat pertama dalam jenis dan urgensi, yakni problema keyakinan yang tidak goyah lagi terhadap apa yang ada dibalik kenyataan-kenyataan yang telah dicapai ilmu pada zamannya.

  2. Bahwa hakikat yang menjadi ciri keyakinan Al-Ghazali adalah hakikat tasawuf, bukan hakikat lain, memang sebelum itu ia mengakui adanya norma lain lagi bagi hakikat separti yang juga diakui oleh para filosuf disepanjang zaman, dan ia menjadikan norma tasawuf sebagai garis pemisah dalam setiap problema pemikiran termasuk muskilah agama seluruhnya, keyakinan tasawuf bukanlah dengan rangkaian dalil dan susunan kalam.

  3. Bahwa masalah-masalah yang dibahas Al-Ghazali dan pendapat-pendapat yang dikemukakan, temasuk inti masalah yaitu apa yang disebut dalam kalangan filosuf filsafat agama. Filsafat agama membahas masalah agama dari segi filsafat dan diantara masalahnya adalah hakikat, peranan dan nilainya serta kebenaran seruannya, agama dan akhlak, hubungan Allah dengan manusia dari segi kebebasan dan tanggung jawab, penyingkapan tabir sufi, sembahyang, terkabul doa, nilai bentuk-bentuk tradisional dalam berbagai pernyataan ungkapan, syiar aqidah, ritual dan ajaran, masalah hakikat, I’tikad dan iman, masalah keimanan dan wujud Tuhan, dan sebagainya.

Disamping Al-Ghazali menseriusi tasawuf dengan penuh keihlasan dan konsentrasi, maka pengetahuannya tentang filsafat telah menjadikan mampu memberikan penjelasan, analisis dan perimbangan dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan dalam tasawuf, sebagaimana ia mampu mengkritisi aliran-aliran pemikiran yang besebrangan dengan tasawuf sunni, dan mengekuhkan apa yang seharusnya ia kukuhkan. MacDonald mengungkapkan hal itu dengan mengatakan: “Ia telah menjadikan tasawuf mendapat tempat yang kuat bagi Ahli Sunnah”.6

D. Fiqh Imam Al-Ghazali

Dalam membicarakan sesuatu yang berhubungan dengan fiqh, tidak hanya ditinjau dari segi lahiriyah saja, namun segi bathiniyah pun mendapat porsi tinjauan yang penting, seperti masalah thaharah, yang dikatakannya bukan hanya berarti membersihkan badan dengan menuangkan air keatasnya, sedang bathinya masih berlumuran dengan kotoran-kotoran. Oleh karenanya menurut pendapatnya bahwa thaharoh mempunyai 4 kalasifikasi

  1. Mensucikan dzahir dari segala hadats, kotoran dan benda yang menjijikan.

  2. Mensucikan anggota badan dari segala perbuatan jahat yang ada.

  3. Mensucikan hati dari segala pekerti yang tercela dan sifat-sifat rendah yang terkutuk.

  4. Mensucikan sirr (bathin) dari sesuatu selain Allah.

Yang terakhir inilah hanya dimilki oleh para nabi dan shadiq, demikian ungkapan yang terdapat dalam ihra, kitab ketiganya dari rubu’ ibadat.

E. Pemahaman Umat Terhadap Al-Ghazali

Al-Ghazali sampai saat ini barang kali tidak berlebihan apabila dikatakan sebagai pemikir besar dalam Islam, memberikan pengaruh besar dan memberikan wajah baru dalam Islam.

Hasil karya beliau berjumlah kurang lebih 100 buah, karangannya meliputi berbagai macam lapangana ilmu pengetahuan seperti ilmu kalam (theology Islam), Fiqh (hukum Islam), tasawuf, akhlaq dan auto biografi.

Karangan Al-Ghazali, disamping ada teman-teman yang sepaham dengan pemikiran-pemikiranya. Ada pula yang menentang akan pendiriannya. Adapun yang sepaham adalah Renan Cassanova, Carro De Vaux, dll.

Sedang yang menentang adalah Ibnu Rusyd, Ibnu Taimiyah, Ibnu Qoyyim, dll dari kalangan fuqoha.

Adapun penyerangan dari kalangan fuqoha dan tasawuf (Ibnu Rusyd) adalah disebabkan sikap Al-Ghazali yang menentang para Filosuf Islam, bahkan sampai mengkafirkan dalam 3 hal, yaitu:

  1. Pengingkaran terhadap kebangkitan jasmani

  2. Membatasi pengetahuan Tuhan kepada hal-hal yang besar saja, dan

  3. Adanya kepercayaan Qodimnya alam dan keasliannya.

Selain umat Islam, agama Yahudi, dan Kristen pun menganut pemikiran Al-Ghazali yaitu mereka percaya adanya titisan Ghazali, dalam pemikiran Yahudi tampil dalam pribadi filosofis besar yaitu Musa dan Maymun (Mases the Maimondes)7.


















KESIMPULAN



Nama lengkap imam Al-Ghazali adalah Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Abu Hamid Al-Ghazali yang dijuluki sebagai Abu Hamid. Beliau dilahirkan di Thus, suatu kota di Kurasan pada tahun 450 H. Ia adalah tokoh Tasawuf, Ilmu Kalam, Fiqh dan filosof Islam.

Kita bisa mengatakan bahwa Al-Ghazali telah menggambarkan sebuah jalan menuju Allah (tasawufnya), yang dimulai dengan perjuangan melawan hawa nafsu, kemudian mujahadah (perjuangan melawan hawa nafsu) menjadikan jiwa melakukan pendakian-pendakian dalam tangga-tangga (maghomat) jalan ini dan kondisi kondisinya untuk sampai pada fana’, pengesaan (tauhid), pengetahuan, dan kebahagiaan.

Menurut kelompok kami, pengaruh Al-Ghazali yaitu positif, Beliau memberikan jalan untuk kembali kepada ajaran agama, kepada seluruh pemikiran, baik filsuf, teologi, fuqoha, ataupun para sufi, selain itu ia juga memberikan konsumsi yang besar dikalangan kaum muslimin sampai sekarang, dan insyaallah sampai dimasa yang akan datang dalam membangkitkan kepekaan terhadap sosialisasi keagamaan, baik secara teoritis maupun praktis.







DAFTAR PUSTAKA


  1. Al-Taftazani. Dr Abu Al-Wafa’ Al-Ghanimi. Sufi Dari Zaman ke Zaman. Pustaka. Bandung. 1997

  2. Jamil. Drs. H. Muhammad. Cakrawala Tasawuf, Sejarah pemikiran dan Kontekstual. Gaung Persada Pers. 2004

  3. Hamka. Prof. Dr. Tasawuf Perkembangan dan pemurnianya. Pustaka Panjimas. Jakarta. 1993

  4. Simuh. Tasawuf dan Perkembangannya Dalam Islam. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. 1996

  5. Al-Taftazani. Dr Abu Al-Wafa’ Al-Ghanimi. Tasawuf Islam Telaah Historis dan Perkembangannya. Gaya Media Pratama. Jakarta. 2008

  6. Mustofa. Drs. H. Filsafat Islam. Pustaka Setia. Bandung 2007



1 Lihat penuturan tentang biografinya dalam Waffat A’yan, jilid 1, hal 586-588, dan kitab Sirah Al-Ghazali wa Aqwal Al-mutaqoddimin fihi, yang di diedit oleh Abdul Kanm Utsman, Dar Fiqr Damaskus.

2 Ihya ‘Ulumuddin, 3, hal 17

3 Ihya ‘Ulumuddin,4, hal 258

4 Ihya ‘Ulumuddin, 2, hal 256

5 Kimiyaus Sya’adah, hal 4

6 Art. Al-Ghozali, Encylopadia of Islam

7 Jamil. Drs. H. Muhammad. Cakrawala Tasawuf, Sejarah pemikiran dan Kontekstual. Gaung Persada Pers. 2004


Tidak ada komentar:

Posting Komentar