Kamis, 10 September 2009

Tindak Pidana Korupsi

PENDAHULUAN
Pada saat Undang Undang nomor 3 Tahun 1971 tentang Tindak Pidana Korupsi diundangkan pada tanggal 29 Maret 1971, berbagai harapan diungkapkan agar undang undang tersebut menjadi sarana yang efektif dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Ternyata apa yang diharapkan dengan kelahiran Undang Undang Nomor 31 tahun 1971 dalam perjalanan waktu masih belum dapat memenuhi harapan, karena dipandang sudah tidak sesuai dengan perkembangan kebutuhan hukum. Bahkan ada anggapan bahwa tidak efektifnya pemberantasan korupsi dalam kurun waktu sempurna undang undangnnya.
Memasuki era reformasi,pada tanggal 16 agustus 1999 diundangkan Undang Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menggantikan undang Undang nomor 3 Tahun 1971. Dalam perjelasan umum Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 ditegaskan, bahwa undang undang ini diharapakan mampu memenuhi dan mengantisipasi perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dalam rangka mencegah dan memberantas secara lebih efektif setiap bentuk tindak pidana korupsi yang sangat merugikan keuangan Negara maupun prekonomian Negara pada khususnya serta masyarakat pada umumnya.
Dari aspek nilai, Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 memiliki beberapa nilai tambah jika dibandingkan dengan undang Undang Nomor 3 Tahun 1971, antara lain:
1. Dalam kaitannya dengan partisipasi publik, untuk membantu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi, penerapan system pembuktian terbalik secara terbatas;
2. Kemudahan untuk membuka kerahasiaan bank tentang keadaan keuangan tersaangka/terdakwa tanpa harus meminta izin terlebih dahulu kepada Mentri Keuangan RI;
3. Mengatur tentang ancaman pidana minimum khusus, pidana denda yang lebih tinggi, dan ancaman pidana mati serta pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK);
4. Peran serta masyarakat dengan reward system dan dengan rincian tentang perlindungan hukum.
Bahwa tindak pidana korupsi yang terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan Negara tetapi juga telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak social dan ekonomi masyarakat secara luas, sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa. Di samping itu, untuk lebih menjamin kepastian hukum, menghindari keragaman penafsiran hukum dan memberikan perlindungan terhhadap hak-hak social dan ekonomi masyarakat serta perlakuan secara adil dalam memberantas tindak pidana korupsi, maka perlu diadakan perubahan atas Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang dikenal dengan Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

PEMBAHASAN
A. Pengertian Korupsi
Dalam Ensiklofedia Indonesia disebut ‘korupsi’ (dari bahasa latin: corruption= penyuapan; corrupture= merusak) gejala dimana para pejabat, badan-badan negara menyalahgunakan wewenang dengan terjadinya penyuapan, pemalsuan, serta ketidak beresan lainnya. Adapun arti harfiah dari korupsi dapat berupa:
a. Kejahatan, kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan, dan ketidak jujuran.
b. Perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok.
Secara harfiah korupsi merupakan suatu yang busuk, jahat, dan merusak. Jika membicarakan tentang korupsi memang akan menemukan kenyataan semacam itu karena korupsi menyangkut segi-segi moral, sifat dan keadaan yang busuk, jabatan dalam instansi atau aparatur pemerintah, penyelewengan kekuasaan dalam jabatan karena pemberian, factor ekonomi dan politik, serta penempatan keluarga atau golongan kedalam kedinasan dibawah kekuasan jabatannya. Dengan demikian, secara harfiah dapat ditarik kesimpulan bahwa sesungguhya istilah korupsi memiliki arti yang sangat luas.
1. Korupsi, penyelewengan atau penggelapan (uang Negara atau peruusahaan dan sebagainya) untuk kepentingan peribadi maupun orang lain.
2. Korupsi; busuk; rusak; suka memakai barang atau uang yang dipercayakan kepadanya; dapat disogok (melalui kekuasaannya atau kepentingan peribadi).
Adapun menurut Subekti dan Tjitrosoudibio dalam kamus hukum, yang dimaksud corruptive adalah korupsi; perbuatan curang; tindak pidana yang merugikan keuangan Negara.
B. Perubahan Perumusan Delika
Undang Undang Nomor 3 Tahun 1971 apabila dibandingkan dengan Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah dan ditambah dengan undang Undang Nomor 21 Tahun 2001, maka salah satu perubahannya adalah perubahan rumusan delik.
Rumusan delik yang termuat dalam Undang undang Nomor 3 tahun 1971 hanya tujuh (7) pasal dari dua puluh enam (26) pasal yang ada dalam undang undang tersebut. Ketujuh pasal tersebut adalah pasal 1 ayat (1) sub a,b,d dan e; pasal-pasal 29,30 dan 31. Tetapi untuk pasal 29 sampai pasal 31 tidak berkenaan dengan korupsi dalam arti materil dan keuangan, hanya mengenai perbuat Undang Undang nomor 3 tahun 1971 yang mempersulit pemeriksaan perkara korupsi pada tingkat penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan dimuka perrsidangan pengadilan. Dengan demikian, Korupsi dalam arti materil dan keuangan terdapat hanya dalam empat rumusan, yaitu sub a,b,d dan e dalam pasal 1 ayat (1). Sedangkan rumusan yang tercantum dalam pasal1 ayat (1) sub c adalah penarikan 13 pasal dari Kitab Undang Undang Hukum Pidana(KUHP).
Pasal 1 ayat (1) sub a Undang Undang Nomor 3 Tahun 1971, berubah menjadi pasal 2 Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 dengan beberapa perubahan redaksi. Begitu pula rumusan pasal 1 ayat (1) sub b Undang Undang Nomor 31 tahun 1971 menjadi pasal 3 Undang Undang Nomor 31 tahun 1999. Pasal 1 ayat (1) sub d Undang Undang Nomor 31 tahun 1971 menjadi pasal 13 Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang Undang Nomor 21 Tahun 2001. Pasal 1 ayat (1) sub e Undang Undang Nomor 3 Tahun 1971 dihapus karena tidak logis, seseorang tang telah melakukan perbuatan korupsi melaporkan diri dan apabila tidak melaporkan merupakan delik tersendiri. Dalam realitas tidak pernah ada orang yang dituntut berdasarkan pasal 1 ayat (1) sub e Undang Undang Nomor 3 Tahun 1971.
Dalam perumusan pasal 2 dan 3 Undang Undang Nomor 31 tahun 1999 yang berasal dari pasal 1 ayat (1) sub a dan b Undang Undang Nomor 3 Tahun 1971, perkataan langsung atau tidak langsung merugikan…..dst, dihapus karena dalam hukum pidana Indonesia hanya mengenal “akibat yang langsung”. Jika dipakai “akibat tidak langsung”, berarti menganut teori von Buri mengenai teori kausalitas yang condition sine qua non yang menyatakan “semua sebab atau factor terjadinya akibat adalah sebab” dimana Indonesia dan Belanda menganut teori trager atau van kries, yang menyatakan bahwa yang menjadi sebab adalah yang seimbang (adequaat) dengan akibat. Jadi berdasarkan teori ini sebab yang tidak langsung tidak dapat diterima.
Kalimat lain yang dihapus adalah “atau patut diketahui….” Didalam pasal 1 ayat (1) sub a Undang Undang 3 Tahun 1971 menjadi pasal 2 undang Undang Nomor 31 tahun 1999, karena kalimat “atau patut diketahui…” berarti culpa yang berarti kerugian Negara yang timbul dapat terjadi karena kelalaian. Dengan dihapuskannya kalimat ‘atau patut diketahui…” berarti kerugiaan Negara yang terjadi harus dilakukan dengan sengaja.
Rumusan lain yang berubah dari delik materil pada pasal 1 ayat (1) sub a Undang Undang 31 Tahun 1971 menjadi delik formal pasal 2 undang undang nomor 31 tahun 1999 dengan didsisipkannya kalimat “dapat merugikan keuangan Negara atau prekonomian Negara”. Artinya, tidak perlu benar benar telah terjadi kerugian keuangan Negara, dengan ‘dapat’ atau mungkini menimbulkan kerugian Negara atau prekonomian Negara, maka unsur delik ini telah terpenuhi.
Dalam perakteknya, pasal pasal yang paling sering dipergunakan dalam menunutut perkara korupsi dipengadilan adalah dakwaan berdasarkan pasal 2 dan atau pasal 3 undang Undang nomor 31 Tahun 1999 jo Undang Undang Nomor 21 tahun 2001 (Pasal 1 ayat (1) sub a dan b Undang Undang Nomor 3 Tahun 1971), dengan kontruksi dakwaan secara alternative/subsidaritas yaitu: dakwaan primair dan subside.
Pasal 2 ayat (1) Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 berbunyi: “setiap orang yang secara melawan hukum perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugukan keuangan Negara atau prekonomian Negara, dipidana…..”
Bagian inti atau unsure (Bestanddelen) yang termuat dal pasal 2 ini adalah:
1. Melawan hukum
2. Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi, dan
3. Dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara.

C. Beberapa Aspek Pidana Korupsi
1. Melawan hukum
Sebagaimana diketahui, bahwa setiap delik _termasuk delik korupsi_ selalu mengundang sifat melawan hukum. Jika melawan hukum itu disebut secara tegas dalam rumusan delik, maka melawan hukum tersebut merupakan unsure / bagian inti. Konsekuensinya, adanya keharusan mencantumkan unsure melawan hukum itu dalam surat dakwaan dan harus pula membuktikan telah dilakukannya perbuatan melawan hukum. Jika perbuatan melawan hukum itu tidak tercantum secara tegas dalam rumusan delik, maka sifat melawan hukum itu tetap ada sebagai unsure yang tersirat (diam-diam). Hanya saja tidak perlu mencantumkan unsure melawan hukum dalam surat dakwaan, begitu pula dalam requisitoir tidak perlu membuktikan telah dilakukannya perbuatan melawan hukum oleh terdakwa, namun terdakwa atau penasehat hukumnya diberi kesempatan untuk membuktukan bahwa terdakwa tidak melawan hukum.
Pengertian melawan hukum menurut Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo undang Undang Nomor 21 tahun 2001 meliputi pengertian formil dan materil. Melawan hukum dalam arti formil dan arti materil yaitu, meskipun perbuatan tersebut tudak diatur dalam perundang undangan, namun apabila perbuatan tersebut tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehudupan social masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana.
Maksud dengan melawan hukum dalam arti formil, ialah apabila suatu perbuatan telah memnuhi rumusan undang undang atau unsure delik dengan sendirinya dianggap perbuatan tersebut telah melawan hukum. Pengertian melawan hukum dalam arti materil ialah bukan saja yang bertentangan dengan undang undang, tetapi juga perbuatan itu bertentangan dengan keputusan atau kelaziman dalam pergaulan atau norma norma social dalam masyarakat. Pengertian melawan hukum dalm arti materil ini, mendapat pengaruh yang kuat dari ajaran perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad) sehingga ada kecendrungan pandangan, seperti yang dikatakan oleh pompe, yaitu pengertiannya sama dengan onrechtmage daad didalam hukum perdata melalui Arrest Cohen Lindenbaum tanggal 31 januari 1919.
2. Memperkaya Diri Sendiri atau Orang Lian atau Korporasi
Istilah memperkaya diri sebagai istilah dalam unsure delik Undang Undang Nomor 3 tahun 1971 sebenarnya berasal daru Undang Undang Tindak Pidana Korupsi terdahulu (Undang undang No. 24 Prp tahun 1960). Akan tetapi, undang undang ini tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan istilah memperkaya itu.
Terhadap unsure memperkaya jelas merupakan delik materil. konsekuensinya harus dibuktikan seberapa jumlah uang atau asset yang telah terdakwa peroleh dengan delik itu. Sebenarnya, ada kaitan antara pasal 2 dan pasal 37 ayat (4) yang menyatakan kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya, maka keterangan tersebut dapat digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada, bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi.
3. Dapat Merugikan keuangan Negara
Unsure dapat merugikan keuangan Negara memang merupakan delik formil, artinya tidak perlu telah terjadi kerugian keuangan atau perekonomian Negara. Kendati begitu, menurut Andi Hamzah, tetap harus dibuktikan dapatnya Negara rugi. Jadi, harus dipanggil ahli akuntan untuk menilai menurut perhitungannya, dapatkah Negara rugi. Andi Hamzah menilai berlebihan terhadap penafsiran yang mengatakan bahwa dapat merugikan keuangan Negara adalah potensial merugikan keuangan Negara. Alasannya kata potensial itu luas sekali artinya. Misalnya, semua orang potensial melakukan kejahatan, sedangkan yang melakukan kejahatan hanya minoritas dari rakyat. Jadi menurut Andi Hamzah , terlampau luas jika kata dapat diartikan potensial. Mestinya tetap ada perhitungan oleh akuntan mengenai dapatnya Negara rugi.
Pasal 3 Undang Undang Nomor 31 tahun 1999 (pasal 1 ayat (1) sub b Undang Undang Nomor 3 Tahun 1971), mengandung unsure sebagai berikut:
1. Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi.
2. Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan.
3. Dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara.
4. Jika dilihat secara seksama, jelas sekali rumusan delik ini berbeda dengan yang tercantum pada pasal 2 Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999, yaitu tidak ada unsure melawan hukum. Jadi tidak perlu dicantumkan dalam dakwaan, dan tidak perlu dibuktukan. Sedangkan adanya pernyataan “ dengan tujuan menguntungkan diri sendiri” harus tercantum dalam dakwaan dan harus dibuktikan. Berhubungan dengan adanya ungkapan “ dengan tujuan” berarti delik ini harus dilakukan dengan sengaja, bahkan sengaja tingkat pertama yaitu sengaja sebagai maksud ( opzet als oogmerk)
Meskipun tidak secara tegas tercantum adanya unsure melawan hukum dalam rumusan pasal 3 tersebut, akan tetapi sifat melawan hukum itu tetap ada secara diam-diam atau tersirat, sebab tiap delik selalu ada sifat melawan hukum, apakah itu sebagai unsure yang tercantum secara tegas maupun sebagai unsure secara diam-diam.
Kemudian, adanya unsure “menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya, karena jabatan atau kedudukan” menunjukan bahwa delik ini mensyaratkan adanya pelaku delik yang harus mempunyai jabatan atau kedudukan yang disalahgunakan.
Istilah “jabatan’ konotasinya berarti dapat dipegang oleh pegawai negeri sipil oleh pejabat tetapi tidak oleh orang swasta, namun dengan adanya tambahan ungkapan “atau kedudukan”, maka subyek delik pasal 3 terbuka kemungkinan bagi non-pegawai negeri sipil (orang swasta), sebab tidak hanya pegawai negeri sipil yang mempunyai kedudukan, misalnya direktur bank swasta juga mempunyai kedudukan

D. Penyebab Terjadinya Korupsi
Paling tidak ada tiga unsure yang menyebabkan seseorang malakukan korupsi atau kecurangan yaitu:
1. Adanya tekanan ( perceived pressure)
2. Adanya kesempatan ( perceived opportunity)
3. Berbagai cara untuk merasionalkan agar kecurangan tersebut dapat diterima ( some way to rationalize the fraund as acceptable)
Tekanan yang dialami seseorang sehingga menyebabkan terjadinya korupsi dapat dibagi menjadi empat yaitu:
1. Tekanan keuangan (pinancial pressure)
2. Sifat buruk (vices)
3. Tekanan yang berhubungan dengan pekerjaan (work-related pressure)
4. Tekanan yang lain (other pressure)
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Albecht tahun 2004, tekanan keuangan merupakan penybab utama terjadinya korupsi yaitu mencapai 95%. Factor kedua penyebab korupsi adalah kesempatan yaitu otoritas atau kewenangan seseorang untuk mengendalikan suatu asset atau melakukan akses terhadap asset. Sementara itu meningkatnya kesempatan individu melakukan korupsi paling tidak dipengaruhi oleh empat hal yaitu kurangnya pengendalian, ketidakmampuan menitai kualitas kerja, terbatasnya akses terhadap informasi, dan tidak adanya jejak audit.
Adanya tekanan dan kesempatan merupakan unsure utama terjadinya korupsi dal sebuah instansi pemerintahan maupun swasta. Sementara itu, unsure ketiga yaitu rasionalisasi memberikan kontribusi terhadap korupsi karena rasionalisasi memberikan suatu pembenaran terhadak kecurangan yang dilakukan. Meskipun tidak memiliki alas an yang kuat, pembenaran tersebut tidak dapat di pertanggung jawabkan dari segi moral dan etika.

E. Upaya Mencegah Terjadinya Korupsi
Adanya hubungan akuntansi yang tidak masuk akal, adanya pengaduan lewat telepon, seseorang yang gerak geriknya mencurigakan, hilangnya dokumen, catatan dalm buku besar yang saldonya tidak sama, dan berubahnya gaya hidup seseorang yang mencolok, semua peristiwa tersebut hanya merupakan gejala dan belum tentu merupakan bukti terjadinya kecurangan atau koripsi. Untuk mendeteksi korupsi, pimpinan, auditor, karyawan, dan investigator harus belajar untuk mengenal gejala terjadinya korupsi. Gejala terjadinya korupsi dapat dibagi menjadi enam tipe yaitu penyimpangan akuntansi, lemahnya pengendalian intern,analisis terhadap keganjilan, gaya hidup mewah, adanya pengaduan, dan perilaku yang tiddak biasa.
Salah satu unsure penting dalam mendeteksi terjadinya korupsi adalah kemampuan untuk mengenal dan mengidentifikasi secara cepat dan tepat terhadap potensi terjadinya korupsi. Adanya bukti-bukti seperti tersebut diatas merupakan bukti yang sifatnya tidak langsung. Petunjuk awal terhadap adanya korupsi biasanya ditujukan pula dengan gejala-gejala seperti adanya keluhan yang berlebihan di masyarakat, terdapat konplik kepentingan, adanya indikasi suap, pembayaran diatas harga normal, hubungan yang sangat erat dan berlebihan dengan rekanan, mengistimewakan rekan tertentu, dan kontrak kerja yang sangat panjang serta kurang adanya evaluasi.
Ada tiga komponen dalam pengendalian intern dari suatu instansi pemerintahan maupun swasta yaitu:
1. Lingkungan Pengendalian (the Control environment)
Lingkungan pengendalian merupakan suasana yang menunjukan bahwa suatu instansi dibentuk untuk karyawan. Unsure yang sangat penring dari lingkungan pengendalian adalah peran manajemen dan pemberian contoh. Jika terdapat sejumlah contoh dari ketidak jujuran atau perilaku yang tidak etis dari manajemen maka hal tersebut akan dipelajari dan ditiru oleh para karyawan. Disamping itu unsure lain yang penting dalam pengendalian lingkungan adalah komunikasi yang baik, rekruitmen yang efektif, struktur organisasi yang jelas serta adanya auditor internal yang efektif.
2. System Akuntansi (Accounting system)
Setiap aktifitas kecurangan atau korupsi terdiri dari tiga unsure yaitu, pencurian (theft) asset, penyembunyiaan (concealment), konversi (conversion), yaitu aktivitas dimana pelaku kecurangan membelanjakan uang tersebut untuk keperluan peribadi. Suatu sitem akuntansi yang baik menyediakan jejak audit (audit trial0, yang memungkinkan suatu kecurangan diketemukan dan kesulitan untuk menyembunyikannya. Tanpa adanya akuntansi yang baik, sangat sulit untuk membedakan antara kecurangan dengan kesalahan yang tidak disengaja. System akuntansi yang baik akan menjamin bahwa pencatatan atas teransaksi keuangan dengan valid, telah diotorisasi, lengkap, dikelompokan secara benar, dilaporkan pada periode yang benar, dan di ikhtisarkan secara benar.
3. Aktifitas atau Prosedur Pengendalian (control actifities)
Instansi yang memiliki banyak karyawan harus mempunyai prosedur pengendalian sehingga setiap tindakan karyawan sejalan dengan tujuan manajemen. Dengan adanya prosedur pengendalian, kesempatan untuk melakukan dan atau menyembunyikan kecurangan dapat dieliminasi dan diminimalisir. Secara umum ada lima prosedur pengendalian yaitu pemisahan tugas atau pengawasan rangkap, system otorisasi, independent, check, pengamanan secara fisik,dan dokumen atau pencatatan.
Lingkungan pengendalian, system akuntansi, dan perosedur pengendalian atau aktifitas bekerja secera bersama sama untuk mengeliminasi atau mengurangi kesempatan untuk melakukan kecurangan atau korupsi. Suatu lingkungan pengendalian yang baik dapat menciptakan suatu suasana dimana perilaku yang baik dapat diterapkan.suatu system akuntansi menyediakan suatu catatan yang akan menyulitkan para pelaku korupsi untuk melakuan akses terhadap aktiva organisasi, menyembunyikan kecurangan, dan mengkonversi aktiva yang dicuri tanpa diketahui. Ketiga komponen tersebut akan membentuk, struktur pengendalian dalam suatu instansi pemerintahan maupun swasta.

F. Menciptakan budaya kejujuran, Keterbukaan dan Asistensi
Terdapat tiga factor yang dpat mencegah terjadinya korupsi yaitu menciptakan budaya kejujuran, keterbuakaan, dan saling membantu. Ketiga factor tersebut adalah merekrut pegawai yang jujur dan melatihnya tentang kesadaran akan resiko malakukan korupsi, menciptakan suatu lingkungan kerja yang positif, menyebarkan pemahaman yang baik dan penghormatan terhadap kode etik, menyediakan program pelatihan bagi karyawan.

PENUTUP
Hal-hal yang sangat mendasar untuk diperhatikan dalam penegakan hukum memberantas korupsi adalah tekad dan komitmen terhadap perbuatan korupsi sebagai musuh yang harus diberantas. selain itu, sebagai penegak hukum dan keadilan, hendaknya menjaga integritas moral dalam melaksanakan tugas dan fungsi pradilan. Bagaimanapun baiknya perangkat hukum dan system yang ada, jika aparat penegak hukumnya tidak memiliki integritas moral yang tinggi, maka niscaya apa yang kita harapkan tidak akan tercapai.
Peningkata profesionalisme dengan penguasaan ilmu pengetahuan hukum dan asas-asas hukum dan perundang-undangan yang berlaku merupakan factor yang amat menentukan dalam melaksanakan tugas peradilan, dan yang tidak kurang pentingnya pula adalah memperbanyak pengalaman, pendalaman, dan pengamatan terhadap peraktek peradilan itu sendiri.
Pemerintah perlu membenahi peraturan perundang-undangan nasional yang berkaitan dengan pemberantasan korupsi yang didukung juga dengan system administrasi pemerintah yang memadai. Kebijakan pemerintah dalam pemberantasan korupsi harus diperkuat dengan kebijakan keuangan Negara serta didikuti partisipasi dan tanggung jawab social dari seluruh lapisan masyarakat, khususnya LSM dan para anggota DPR/DPRD.

Daftar Pustaka
Adji Indriyanto Seno, Korupsi dan Hukum Pidana, Kantor Pengacara dan Konsultan
Hukum,Jakarta, 2001.
Hamzah Andi, Pemberantasan Korupsi Melalui hukum Pidana Nasional dan
Internasioonal,Jakarta, PT. Raja grapindo Persada, 2004.
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung, 1977.
Suradi, Korupsi dalam Sektor Pemerintahan dan Swasta, Yogyakarta, gava media,
2006
Hartanti Evi, Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, sinar grafika, 2007

Minggu, 30 Agustus 2009

Kaitan Korupsi Dengan HAM

PENDAHULUAN
Kaitan Korupsi Dengan HAM Dan Gambarannya

Setelah demokrasi, penegakan Hak Asasi Manusia merupakan elemen penting untuk perwujudan sebuah Negara yang berkeadaban (Civilized Nation) . Hak Asasi Manusia ini tertuang dalam Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia . Dalam salah satu bunyi pasalnya ( Pasal 1 ) secara tersurat dijelaskan bahwa Hak Asasi Manusia ( HAM ) adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrahnya yang wajib dihormati, dijunjung dan dilindungi oleh Negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Menurut DUHAM (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia), terdapat lima jenis hak asasi yang dimiliki oleh setiap individu : Hak personal (hak jaminan kebutuhan pribadi), hak legal (hak jaminan perlindungan hukum) : Hak sipil dan politik ; hak substansi (hak jaminan adanya sumber daya untuk menunjang kehidupan), hak ekonomi, sosial dan budaya. i
Menurut Pasal 3-21 DUHAM, hak personal, hak legal, hak sipil dan politik diantaranya meliputi kurang lebih 20 point. Karena dalam makalah ini untuk selanjutnya yang lebih spesifik akan di bahas mengenai “ korupsi “ maka ketika saya melihat dari sudut pandang HAM jelas bahwa hal tersebut sangat menyalahi peraturan. Seorang koruptor tidaklah lagi mementingkan kepentingan bersama yang ada seorang koruptor hanyalah menjalankan kepentingan pribadi, secara tidak langsung telah mengambil hak kita, oleh sebab itu perlindungan hukum haruslah ditegakkan.
Dalam UUD 1945 ditegaskan bahwa Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (Rechstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machstaat) ini berarti bahwa Republik Indonesia adalah Negara hokum yang demokratis berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia dan menjamin semua warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hokum dan pemerintahan serta wajib menjunjung hukum dan pemerintahan tanpa ada kecualinya.
Hukum menetapkan apa yang harus dilakukan dan atau apa yang boleh dilakukan serta yang dilarang. Sasaran hukum yang hendak yang hendak dituju bukan saja orang yang nyata-nyata berbuat melawan hukum, melainkan juga perbuatan hukum yang mungkin akan terjadi, dan kepada alat perlengkapan negara untuk bertindak menurut hukum. Sistem bekerjanya hukum yang demikian itu merupakan salah satu bentuk penegakan hukum.
Proses pembangunan dapat menimbulkan kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat juga mengakibatkan perubahan kondisi social masyarakat yang memiliki dampak social negative, terutama menyangkut masalah peningkatan tindak pidana yang meresahkan masyarakat. Salah satu tindak pidana yang dapat dikatakan cukup fenomenal adalah masalah korupsi. Tindak pidana ini tidak hanya merugikan keuangan Negara, tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak social dan ekonomi masyarakat.
Kasus-kasus tindak pidana korupsi sulit diungkapkan karena pada pelakunya menggunakan peralatan canggih serta biasanya dilakukan oleh lebih dari satu orang dalam keadaan yang terselubung dan terorganisasi oleh karena itu, kejahatan ini sering disebut While collar Crime atau kejahatan kerah putih.
Korupsi di Indonesia terus menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Tindak pidana korupsi sudah meluas dalam masyarakat, baik dari jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian Negara, maupun dari segi kualitas tindak pidana yang dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya yang memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat.
Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana, tidak saja bagi kehidupan perekonomian nasional, juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara. Hasil survey Transparency International Indonesia ( TII ) menunjukkan Indonesia merupakan Negara paling korup nomor enam dari 133 Negara. Tiga sector paling rawan terhadap tindak pidana korupsi adalah Partai Politik, Kepolisian, dan Pengadilan Sementara itu, kecenderungan masyarakat memberikan suap paling banyak terjadi di sector non konstruksi, pertahanan keamanan, migas, perbankan dan property. Merajalelanya korupsi adalah karena factor perangkat hukumnya lemah. Menyalahkan atau mengubah Undang-Undang memang lebih mudah daripada menyeret koruptor ke muka pengadilan.ii
Dalam berbagai hal tentang gambaran korupsi, maka dalam bab selanjutnya akan lebih diperjelas.

PEMBAHASAN
A.Pengertian Tindak Pidana
Istilah “ Tindak Pidana “ adalah dimaksudkan sebagai terjemahan dalam bahasa Indonesia untuk istilah bahasa Belanda “Stafbaar feit“ atau “Delict“.
Untuk terjemahan itu, dalam bahasa Indonesia disamping istilah “ Tindak Pidana “ juga telah dipakai dan beredar beberapa istilah lain baik dalam buku-buku ataupun dalam peraturan tertulis, antaralain : (1) Perbuatan yang dapat dihukum . (2) Peristiwa pidana . (3) Perbuatan yang boleh dihukum. (4) Pelanggaran pidana. (5) Perbuatan Pidana.iii
Dalam bahasa Belanda Straafbaar feit terdapat dua unsur pembentuk kata, yaitu Straafbaar dan Feit. Kata feit diartikan sebagian dari kenyataan, sedang Straabaar berarti dapat dihukum, sehingga secara harfiah perkataan, Strafbaar feit berarti sebagian dari kenyataan yanang dapat dihukum.

Menurut pendapat para pakar :
1.Simons

Dalam rumusannya Strafbaar feit itu adalah “ Tindakan melanggar hokum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun dengan tidak sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggung jawabkan atas tindakannya dan oleh Undang-Undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat di hukum.
2.Moeljatno
Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan yang mana disertai sanksi berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar aturan tersebut, atau perbuatan yang diancam pidana asal saja dalam hal itu diingat bahwa larangan ditujukan pada perbuatan ( yaitu kejadian atau yang ditimbulkan oleh kelakuan orang, sedang ancaman pidananya ditujukan pada orang yang menimbulkan kejahatan.
3.Poempe
Perkataan Straafbaar feit secara teoritis dapat dirumuskan sebagai suatu pelanggaran : Pelanggaran norma atau gangguan terhadap tertib hukum yang dengan sengaja atau tidak sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku itu adalah penting demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum.
4.E. Utrecht
Menterjamahkan Straafbaar feit dengan istilah peristiwa pidana yang sering juga Ia sebut delik, karena peristiwa itu suatu perbuatan handelen atau doen positif atau suatu melalaikan nalaten-negatif, maupun akibatnya ( Keadaan yang ditimbulkan karena perbuatan atau melalaikan itu ). Peristiwa pidana merupakan suatu peristiwa hukum (Rechtsfeit), yaitu peristiwa kemasyarakatan yang membawa akibat yang diatur oleh hukum.

B.Definisi-definisi Korupsi
Definisi korupsi di dalam kamus lengkap Webster’s Third New International Dictionary adalah ajakan (dari seorang pejabat politik) dengan pertimbangan – pertimbangan yang tidak semestinya (misalnya suap) untuk melakukan pelanggaran tugas, literatur tentang korupsi memuat beberapa definisi yang bermanfaat. Sebuah definisi yang banyak dikutip adalah ;
“Tingkah laku yang menyimpang dari tugas-tugas resmi sebuah jabatan Negara karena keuntungan status atau uang yang menyangkut pribadi (perorangan, keluarga dekat, kelompok sendiri), atau melanggar aturan-aturan pelaksanaan beberapa tingkah laku pribadi.”
Secara historis konsep tersebut merujuk sekaligus pada tingkah laku politik dan seksual. Kata latin Corruptus, “Corrupt“ menimbulkan serangkaian gambaran jahat; kata itu berarti apa saja yang merusak keutuhan. Ada nada moral pada kata tersebut.
Definisi-definisi itu tidaklah statis, pemahaman rakyat tentang apa yang di sebut “Corrupt” itu berkembang. Sepanjang waktu masyarakat lambat laun mampu membuat pembedaan yang lebih tajam antara “suap“ atau “transaksi“ dan semakin mampu membuat pembedaan-pembedaan ini berlaku dalam praktek. Dan dalam setiap zaman, suatu masyarakat cenderung menemukan sekurang–kurangnya empat definisi suap yang berbeda; “definisi dari kaum moralis yang lebih maju ; definisi hukum sebagaimana tertulis ; definisi hukum sejauh ditegakkan ; definisi praktek yang lazim“iv
Dalam arti luas, korupsi berarti menggunakan jabatan untuk keuntungan pribadi. Jabatan adalah kedudukan kepercayaan. Seseorang diberi wewenang atau kekuasaan untuk bertindak atas nama lembaga. Lembaga itu bisa lembaga swasta, lembaga pemerintah, atau lembaga nirlaba. Korupsi berarti memungut uang yang bagi layanan sudah seharusnya diberikan, atau menggunakan wewenang untuk mencapai tujuan-tujuan yang tidak sah. Korupsi adalah tidak melaksanakan tugas karena lalai atau di sengaja. Korupsi bisa mencakup kegiatan yang sah dan tidak sah. Korupsi dapat terjadi di dalam tubuh organisasi (misalnya pemerasan). Korupssi kadang-kadang dapat membawa dampak positif dibidang sosial, namun pada umumnya korupsi menimbulkan inefisiensi, ketidakadilan dan ketimpangan.v


1.Macam-macam korupsi
Korupsi Kecil

Korupsi kecil dapat mengacu pada pembelokan peraturan resmi demi keuntungan teman, sebagaimana diwujudkan dalam laporan yang agak tidak jujur mengenai soal-soal rinci, pengabaian tanggal pemutusan (cut of dates ), “ penetapan “ karcis parkir dan lain-lain.
Korupsi Rutin
Dalam lingkungan Patron-Klien tradisional, banyak hadiah yang diterima oleh pejabat pemerintahan kurang jelas hubungannya dengan kewajiban-kewajiban khusus, akan tetapi merupakan praktek yang baku dalam arti kata bahwa mereka berulang hampir menurut musim. Bantuan Patron sama pentingnya dalam melamar pekerjaan pemerintah seperti beberapa dasawarsa yang lalu di Chicago, meskipun tidak ada mesin partai. Oleh karena itu, dalam lingkungan ini semua kegiatan yang dapat dianggap “ korupsi rutin ‘ oleh standar Barat yang resmi merupakan prosedur tetap yang berakar kokoh dalam hubungan dan kewajiban sosial yang lebih umum.
Korupsi Yang Menjengkelkan
Diantara masyarakat-masyarakat yang berdasarkan hubungan majikan patronase, justru frekuensi kejadian korupsi yang menjengkelkan inilah yang membedakan masa “Pembaharuan“ dari masa dikotori“ oleh aib atau “kata korup” dari “kota mesin“. Jadi, sebagian besar dari keanekaragaman tingkah laku korup hanya terjadi kadang-kadang dalam“ kota mesin“ yang diperintah lebih baik di Amerika abad ke-20, akan tetapi variasi itu merupakan praktek standar dalam kota yang oleh John A Gardiner disebut Wincaton.vi


2.Sifat-sifat Korupsi
Baharuddin Lopa dalam bukunya kejahatan korupsi dan penegakan Hukum membagi korupsi menurut sifatnya dalam dua bentuk, yaitu :
a.Korupsi Yang Bermotif Terselubung
Yakni korupsi secara sepintas kelihatannya bermotif politik, tetapi secara tersembunyi sesungguhnya bermotif mendapatkan uang semata.
b.Korupsi Yang Bermotif Ganda
Yaitu seseorang melakukan korupsi secara lahiriah kelihatannya hanya bermotif mendapatkan uang, tetapi sesungguhnya bermotif lain, yakni kepentingan politik.


UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 31 TAHUN 1999
TENTANG
PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang :
a.Bahwa tindak pidana korupsi sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dan menghambat pembangunan nasional, sehingga harus diberantas dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
b.Bahwa akibat tindak Pidana Korupsi yang terjadi selama ini selain merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, juga menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi.
c.Bahwa Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang pemberantasan tindak Pidana Korupsi sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat, karena itu perlu diganti dengan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang baru sehingga diharapkan lebih efektif dalam mencegah dan memberantas Tindak Pidana Korupsi.
d.Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, dan c perlu dibentuk Undang-Undang yang baru tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Mengingat :
1.Pasal 5 ayat ( 1 ) dan Pasal 20 ayat ( 1 ) Undang-Undang Dasar 1945 ;
2.Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XI / MPR / 1998 tentang Penyelenggara Negara yang bersih dan bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
Dengan Persetujuan


DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
1.Di dalam Lampiran Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang berupa sistematika teknik penyusunan Perundang-undangan ditentukan bahwa konsiderans dari suatu Undang-undang memuat unsur-unsur filosofis, yuridis dan sosiologi yang menjadi latar belakang pembuatannya.
Jika konsiderans dari Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 diperhatikan, dapat diketahui bahwa konsiderans dari Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tersebut telah memenuhi konsiderans seperti yang dimaksud oleh Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tersebut, karena :
I.Unsur filosofis
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 dibuat dalam rangka untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila UUD 1945.
II.Unsur Yuridis
Undang-undang Nomor 31 Tahun 31 Tahun 1999 dibuat atas dasar Tap. MPR Nomor XI / MPR / 1998 Untuk mengganti Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 yang dinilai sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat.
III.Unsur Sosiologis
Dengan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 diharapkan upaya untuk mencegah dan memberantas Tindak Pidana Korupsi dapat lebih efektif, karena Tindak Pidana Korupsi sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dan menghambat pembangunan nasional.
2.Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme sudah tepat dan benar tidak dijadikan salah satu dasar hukum dibuatnya Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999, karena didalam Undang-undang nomor 28 Tahun 1999 tidak ada ketentuan yang memerintahkan dibuatnya Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999.
Menariknya, Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 terjadi dijadikan salah satu dasar hukum dibuatnya Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999.
Adapun yang memerintahkan dibuatnya Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 adalah Tap. MPR Nomor XI / MPR / 1998.vii

C.Wewenang JAKSA Dan POLRI Serta Peranannya
1.Kewenangan Jaksa Dalam Penyidikan Tindak Pidana Tertentu
Pada pasal 1 butir 1 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang kejaksaan Republik Indonesia ditentukan bahwa jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum serta wewenang lain berdasarkan undang-undang. Adapun lembaga negara pemerintahannya disebut kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum.
Sebagaimana telah dijelaskan, bahwa wewenang jaksa adalah bertindak sebagai penuntut umum dan sebagai eksekutor. Adapun yang dimaksud dengan penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya (Pasal 1 butir 2 KUHAP).
Pasal 91 ayat (1) KUHAP mengatur tentang kewenangan jaksa (penuntut umum) untuk mengambil alih berita acara pemeriksaan. Seyogianya jika tidak ada kewenangan untuk melakukan penyidikan maka berita pemeriksaan itu diambil alih dan dapat ditafsirkan tidak sah. Sesuai pasal 284 ayat ( 2 ) KUHAP yang menyatakan :
“ Dalam waktu dua tahun setelah undang-undang ini diundangkan, maka terhadap semua perkara diberlakukan ketentuan undang-undang ini, dengan pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu, sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi“.
Bahwa yang dimaksud dengan “ketentuan khusus acara Pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu“ adalah ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada :
1.Undang-undang tentang pengusutan, penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi (Undang-undang Nomor 7 Darurat Tahun 1955);
2.Undang-undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971).
Dengan catatan bahwa semua ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada Undang-undang tertentu akan ditinjau kembali, diubah atau dicabut dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.
Agar supaya ada kesatuan pendapat mengenai makna dari pasal 284 ayat (2) KUHAP, dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983, disebutkan :
“Penyidik menurut ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada Undang-undang tertentu sebagaimana dimaksud dalam pasal 284 ayat (2) KUHAP dilaksanakan oleh penyidik, Jaksa dan Pejabat Penyidik yang berwenang lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan“.


2.Kewenangan POLRI
Tugas penyidikan ada ditangani POLRI, sebagaimana diatur dalam pasal 1 butir 1 KUHAP yang menyatakan : “Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pegawai pejabat negri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-undang untuk melakukan penyidikan “ dan diatur lebih lanjut pada pasal 6 KUHAP. viii
Berdasarkan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan Hukum Acara Pidana dan Peraturan Perundang-undangan lainnya.
Wewenang kepolisian dalam proses pidana (Pasal 16) :
Huruf a : Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan ;
Huruf b : Melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan ;
Huruf c : Membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan.
Huruf d : Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri.
Huruf e : Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat ;
Huruf f : Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka saksi ;
Huruf g : Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara ;
Huruf h : Mengadakan penghentian penyidikan ;
Huruf i : Menyerahkan bekas perkara kepada penuntut umum ;
Huruf j : Mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang berwenang di tempat pemeriksaan Imigrasi dalam keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang untuk melakukan tindak pidana;
Huruf k : Memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik PNS serta menerima hasil penyidikan penyidik PNS untuk di serahkan kepada penuntut umum.
Huruf l : Mengadakan tindakan lain merawat hukum yang bertanggung jawab.
D.Komisi Peberantasan Korupsi
Dalam rangka mewujudkan supremasi hukum, pemerintah telah melatakkan landasan kebijakan yang kuat dalam usaha memerangi tindak pidana korupsi semua kebijakan tersebut tertuang dalam berbagai Peraturan perundang-undangan. Berdasarkan ketentuan pasal 43 undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana korupsisebagaimana telah diubah dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001, badan khusus tersebut yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK ).
1.Tugas Komisi Pemberantasan Korupsi
a.Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan tindak pidana korupsi.
b.Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
c.Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap Tindak Pidana Korupsi.
d.Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi.
e.Melakukan monitor terhadap Penyelengaraan Pemerintahan Negara ( Pasal 6 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002.
2.Wewenang Komoisi Pemberatasan Korupsi
a.Mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan Tindak Pidana Korupsi.
b.Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
c.Meminta informasi tentang kegiatan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
d.Melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
e.Meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan Tindak Pidana Korupsi ( Pasal 7 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 ).
f.Wewenang lain bisa dilihat dalam pasal 12, 13, dan 14 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 ).

3.Kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi
Komisi Pemberantasan Korupsi berkedudukan di Ibu kota Negara Republik Indonesia dan wilayah kerjanya meliputi seluruh wilayah Negara Republik Indonesia. Komisi Pemberantasan Korupsi dapat membentuk perwakilan di daerah provinsi.
Komisi Pemberantasan Korupsi terdiri atas :
a. Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi yang terdiri atas lima anggota Komisi Pemberantasan Korupsi.
b.Tim penasihat yang terdiri atas empat anggota.
c.Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai pelaksana tugas (Pasal 21 ayat (1 ) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 ).
Penyelidikan
Penyelidik adalah penyelidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2002). Penyelidik melaksanakan fungsi penyelidikan tindak pidana korupsi dalam waktu paling lambat tujuh hari kerja terhitung sejak tanggal ditemukan bukti permulaan yang cukup, penyelidik melaporkan kepada KPK. Bukti permulaan yang cukup dianggap telah ada apabila telah ditemukan sekurang-kurangnya dua alat bukti. Dalam hal penyelidik melakukan tugasnya tidak menemukan bukti permulaan yang cukup, penyelidik melaporkan kepada KPK dan KPK menghentikan penyelidikan. Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi berpendapat bahwa perkara tersebut diteruskan, KPK melaksanakan penyidikan sendiri atau dapat melimpahkan perkara tersebut kepada penyidik kepolisian atau kejaksaan.
Penyidikan
Penyidikan adalah penyidik pada KPK yang diangkat dan diberhentikan oleh Korupsi Pemberantasan Korupsi (Pasal 45 Ayat (1) Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002).
Penyidik melaksanakan fungsi penyidikan Tindak Pidana Korupsi. Atas dasar dugaan yang kuat adanya bukti permulaan yang cukup, penyidik dapat melakukan penyitaan tanpa izin ketua Pengadilan Negri berkaitan dengan tugas penyidikannya. Penyidik wajib membuat berita acara penyitaan pada penyitaan yang memuat :
a.Nama jenis dan jumlah barang atau benda berharga lain yang disita.
b.Keterangan tempat, waktu, hari, tanggal, bulan dan tahun dilakukan penyitaan.
c.Keterangan mengenai pemilik atau yang menguasai barang atau benda berharga lain.
d.Tanda tangan dan identitas penyidik yang melakukan penyitaan.
e.Tanda tangan dan identitas dari pemilik atau orang yang menguasai barang tersebut.

Penuntutan
Penuntutan adalah penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan diberhentikan oleh KPK. Penuntut adalah Jaksa Penuntut Umum. Penuntut umum, setelah menerima berkas perkara dari penyidik, paling lambat 14 (empat belas) hari kerja wajib melimpahkan berkas perkara tersebut kepada Pengadilan Negeri.
Pemeriksaan di Sidang Pengadilan
Perkara tindak Pidana Korupsi diperiksa dan diputuskan oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dalam waktu 90 hari kerja sejak perkara dilimpahkan ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi . Pemeriksaan perkara dilakukan oleh majelis hakim berjumlah 5 (Lima) orang yang terdiri atas 2 (dua) orang hakim Pengadilan Negri dan 3 (tiga) orang hakim ad hoc.
Dalam hal putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dimohonkan banding ke Pengadilan Tinggi, perkara tersebut diperiksa dan diputuskan dalam Jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari kerja sejak berkas perkara diterima oleh Pengadilan Tinggi.
Dalam hal putusan Pengadilan Tinggi Tindak Pidana Korupsi dimohonkan kasasi kepada Mahkamah Agung, perkara tersebut diperiksa dan diputuskan dalam jangka waktu paling lama 90 ( sembilan puluh ) hari kerja terhitung sejak tanggal berkas perkara diterima oleh Mahkamah Agung.
Dalam hal seseorang dirugikan akibat penyelidikan , penyidikan, penuntutan, yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi secara bertentangan dengan Undang-undang atau hukum yang berlaku, orang yang bersangkutan berhak untuk mengajukan gugatan rehabilitas dan atau kompensasi. Gugatan tidak mengurangi hak orang yang dirugikan untuk mengajukan gugatan pra peradilan. Gugatan diajukan ke Pengadilan Negri yang berwenang mengadili perkara Tindak Pidana Korupsi. Putusan Pengadilan Negri dalam hubungan dengan gugatan, harus ditentukan jenis, jangka waktu, dan cara pelaksanaan rehabilitas dan atau kompensasi yang harus dipenuhi KPK.ix

PENUTUP
Demikian uraian-uraian tentang tindak pidana korupsi dan penegakannya, yang telah dijabarkan pada bab-bab sebelumnya. Dan kita dapat menarik kesimpulan sebagai berikut :
1.Tindak pidana korupsi adalah pelanggaran pidana yang menggunakan jabatan untuk keuntungan pribadi.
2.Penegakan hukum mengenai pemberantasan tindak pidana korupsi telah tercantum pada Undang-undang RI No. 31 Tahun 1999.
3.Demi terwujudnya supremasi hukum pemerintah membuat landasan kebijakan yang kuat dalam usaha memerangi tindak pidana korupsi, maka dibuat badan hukum yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi.
4.Pihak-pihak yang berwenang untuk melakukan penyidikan atau penyelidikan antara lain : Jaksa, Polri, dan lembaga-lembaga pembantu lainnya yang masih terkait.