PENDAHULUAN
Pada abad ketujuh di Arabia Tengah (sekarang Saudi Arabia) bangkit sebuah gerakan agama baru yakni agama Islam. Agama ini dengan cepat tersebar kesegala penjuru dan kemudian menjadi agama kedua terbesar jumlah pemeluknya di dunia. Islam bukan hanya sekedar masyarakat kerohanian, tetapi juga merupakan sebuah Negara, sebuah imperium. Islam bekembang sebagai gerakan keagamaan dan politik yang di dalamnya agama menyatu terhadap Negara dan masyarakat. Kepercayaan seorang muslim bahwa islam mengemban keimanan dan politik berakar pada kitab yang dianggap wahyu illahi, yaitu al-Qur’an, beserta Sunnah dari pembangunnya dan nabinya, yakni Muhammad, sehingga kepercayaan itu tercermin dalam ajaran Islam, sejarah, dan perkembangan politiknya.
Sejarah Pengumulan Pemikiran Politik (Islam)
Pemikiran politik islam pada umumnya merupakan produk “perdebatan besar” yang terfokus pada masalah religi politik tentang Imamah dan Kekhalifahan. Di Madinah, merupakan tempat yang dipilih Nabi Muhammad untuk menetap setelah teraniyaya di Mekkah, dimana pada masa tahun pertamaterdapat sedikit kontroversi mengenai siapa yang pantas mengendalikan kekuatan politik.
Dalam teori maupun praktek, Nabi menempati suatu posisi yang unik sebagai pemimpin dan sumber sepiritual undang-undang Ketuhanan, namun sekaligus juga pemimpin pemerintahan Islam yang pertama. Kerangka kerja Konstitusional pemerintahan ini terungkap dalam sebuah dokumen terkenal yang disebut dengan “Konstitusi Madinah” atau “Piagam Madinah”.
Dalam dokumen tersebut terdapat langkah pertama dan amat penting bagi terwujudnya sebuah badan pemerintahan Islam atau Ummah. Menurut piagam itu, konsep suku tentang pertalian darah digantikan dengan ikatan iman yang bersifat idiologis. Piagam ini juga menyuguhkan landasan bagi perinsip saling menghormati dan menghargai antara orang-orang Islam dan orang-orang yang mengikuti, bergabung, dan berjuang bersama mereka. Mereka, yang dimaksudkan dalam pembukaan piagam itu adalah masyarakat yahudi Madinah.
Menurut konstitusi tersebut, orang-orang Islam dan semua warga yang tinggal di Madinah tergabung dalam satu masyarakat (pasal 1) yang secara fisik dan politis berbeda dengan kelompok-kelompok lain (pasal 1 dan 39). Sejak hijrah ke Madinah tahun 622 M, sampai saat wafat pada 06 Juni 632 M Nabi Muhammad berperan sebagai pemimpin yang tidak dapat dibantah (unquestionable leader) bagi Negara Islam yang baru lahir itu. Sebfagai nabi, ia meletakan perinsip-perinsip agama Islam, memimpin shalat serta menyampikan khutbah. Sebagai negarawan, ia mengutus duta keluar negri, membentuk angkatan perang,dan membagikan rampasan perang. Peristiwa wafatnya Nabi yang tidak terduga menjadi sebab larutnya masyarakat dalam ketidakpastian tentang kerisis penggantinya.
Semasa kehidupannya Nabi tidak pernah menyampaikan wasiat tentang siapa yang berhak menggantikannya sebagai pimpinan Negara Islam. Inilah yang menjadi pemicu lahirnya perdebatan sengit dan berkepanjangan mengenai syarat-syarat imam atau pemimpin umat Islam. Selama masa pergolakan inilah dapat ditemukan berbagai macam kelahiran ragam faksi politik yang membentuk spectrum pemikiran politik Islam dengan perdebatan melibatkan berbagai masalah seperti basis obligasi politik, syarat-syarat pemerintahan Islam, peruses terwujudnya konstitusi, dan pemberontakan terhadap kekuasaan yang ada.
Sebab-sebab Munculnya Politik Pemerintahan Islam
Segala kejadian di masa Rasulullah dan sesudahnya, menyanghkut cara para khalifah mengendalikan pemerintahan yang terjadi di jaman mereka, termasuk politik pemerintahan, administrasi Negara dan system pemilihan pra pejabat, perubahn kondisional yang seharusnya memang terjadi akibat penaklukan-penaklukan serta bertambah luasnya wilayah Negara, di tambah lagi adanya perbedaan system dalam masyarakat Islam pada masing-masing khalifah, sampai peristiwa al-fitnah al-kubra. Selanjutnya masa kenabian dapat dibagi dalam duaa periode:
1. Masa sebelum hijrah
2. Masa sesudah hijrah
Antara keduanya, tidak ada kelebihan ataupun perbedaan yang menonjol sebagai mana yang dinyatakan oleh sebagai kaum orientalis. Lebih tepat dikatakan, masa yang pertama adalah masa persiapan untuk yang kedua. Pada masa sebelum hijrah langkah-langkah permulaan dari masyarakat Islam dan peletakan sendi-sendi yang mendasar secara umum, sedangkan masa sesudahnya merupakan penyempurnaan tatanan masyarakat yang bersifat lebih rinci serta mengacu pada perinsip-perinsip yang baru. Pada masa kenabian Muhammad sebagai masa pembentukan dan pembinaan untuk meletakan dasar bagi sesuatu yang besar dengan peristiwa yang akan dilalui oleh generasi selanjutnya.
Perlu dicatat, banyak fenomena dalam system pemerintahan sesudahnya yang belum nampak pada masa Nabi, namun tidak berarti menghilangkan system asli yang telah di garisakan adanya secara umum pada masa Nabi. Karena semunya berangkat dari kaidah-kaidah dasar system pemerintahan yang bertujuan untuk mencapai kesejahteraan manusia, mencegah permusuhan atau kezaliman satu terhadap yang lain. Maka system pemerintahan yang berdasarkan pada kaidah umum ini telah diterapkan Di masa Rasulullah dan dimasa Khulafa al-Rasydin yang mana mereka mengharuskan untuk kembali kepada Al-qur’an dan Assunah dalam kiprah politik pemerintahan.
Pemikiran Politik Islam
Hubungan integral antara agama dengan politik delam islam dan penegasan himbauan pihak muslim untuk meralisir ketetapan allah ,memperlihatkan refleksinya dalam kecenderungan meninjau pemberontakan-pemberontakan politik dan social (seumpama perang Riddat ,hak-hak social bagi Muslim non-Arab,pemisahan politik oleh Syi`ah maupun Khawarij) bukan ekedar permasalahan politik tapi pula permasalahan keagamaan.Pemberontakan suku-suku Arab sesudah Muhammad wafat bukan suatu pengkhianatan (treason) akan tetapi belot agama (apostasy).Penjelmaan sistematik dari idea Islam termuat dalam hokum islam.Walau bagaimanapun,seperti dapat kita saksikan,realitas sejarah sering dihadapkan kepada keganjilan-keganjilan ditilik dari idea yang normatif itu.Ekspansi luar biasa pada masa-masa permulaan itu beserta perkembangan islam sebagai negara memastikan keputusan-keputusan yang segera dari pihak para khalif dan para panglima daripada perencanaan yang reflektif dari pihak sarjana (scholar=ulama)dan perumus politik (policy makers).infrastruktur dalam bidang politik maupun social pada masa Umayyah maupun pada masa Abbasiah bukan lahir dari penafsiran-penafsiran yang sistematik dan amplikasi ideology islam akan tetapi akibat menampung kebijaksanaan-kebijaksanan rezim yang digantikan, terutama dari pihak Birantium dan dari pihak Sassanids.
Tuntunan yang luas dari pandangan Islam dalam perbandingannya dengan watak yang berbeda dari pemerintahan Islam, yakni diskrepansi yang tajam antara idea yang di wahyukan dengan realitas politik, menyebabkan timbul tantangan bagi keraadran pihak muslim, terlebih khusus bagi pihak ulama yang menganggap dirinya “the guardians if islam”, yakni pihak yang menjaga dan mempertahankan Islam. Sebagai akibatnya , teori Islam tentang watak Khilafat berkembang bukan akibat dedukasi maupun spekulasi tentang watak pemerintahan Islam akan tetapi akibat realitas politik, yang dengan sendirinya memperlihatkan keganjilan-keganjilan bilamana ditilik daqri norma-norma Islam.
Betapapun juga kepercayaan tentang kesatuan agama dengan politik dalam kehidupan masyarakat sepanjang sejarah sering memperlihatkan kontradiksi dengan idea islam. Permasalahan yang di timbulkan oleh perbedaan antara keyakinan dengan kenyataan telah menyebabkan bangkitnya perkembangan pemikiran politik Islam. Sekalipun pemikiran politik Islam itu punya variasi, tapi perinsip yang umum muncul: syarat yang sekurang-kurangnya bagi pemerintahan Islam itu bukan watak kepala Negara tapi pemerintahan sesuai dengan syari’ah. Pengakuan pihak penguasa bahwa syari’ah itu hokum resmi dalam Negara maka hal itu sudah menjamminnkan kesatuan masyarakat serta pola ataupun watak Islam. Hukum Islam bukan komitmen keagamaan maupun watak moral pihak penguasa, adalah criteria bagi legitimasi Negara Islam.
Teori Politik
Kajian [setudi] ini diawali dengan penelitian kritis terhadap teori khilafah yg berkembang hingga massa Ibnu Taimiyah, seraya menyinggung adanya kebutuhan akan pendekatan yg lebih kritis terhadap pemeritah islam .Artinya ,bila perkembangan sejarah tidak terabaikan ,maka nilai prinsip-prinsip teori yang kritis tentu akan terpelihara. Teori khilafah tidak mampu memenuhi tujuan itu karena terlalu bersandar pada sejarah sehingga penelitan yang dimaksud kehilangan kontak dengan tujuan semula [idealitasnya]
Ibnu Taimiyah menemukan metodologi yang mempermasalahkan peraktek-peratek kehidupan dan pandangan dimasanya yang dianggap menyimpang dari ajaran Islam. Penyimpamgan–penyimpanan itu disebabkan oleh berbagai faktor,terutama taklid buta terhadap perilaku bid’ah, atau fitnah menyesatkan. Dengan mengambil peranan sebagai pengontrol terhadap aneka peristiwa yang ada , Ibnu Taimiyah menyajikan teori politik Islam yang di harapkan mampu nenutup keterbatasan-keterbatasan pada teori tersebut dengan mengajukan teori kekhalifahan klasik.
Cukup menarik, bahwa Ibnu Taimiyah tidak hanya mengkritik teori kekhalifahan,tetapi juga tidak memandang perlunya kekhalifahan sama sekali.Ia meragukan Validitas pendapat bahwa kekhalifahan berasal dari AL-Qur’an dan As-Sunnah,atau bahkan latar belakang sejarah Khulafaur-Rasyidin yang dianggapnya tak lebih dari sebuah aksiden,bukan missal atau contoh kehiduppan. Praktek kehidupan Nabi sendiri oleh Ibnu Taimiyah tidak di pandang sebagai dasar pijak untuk mengadopsi bentuk pemerintahan tertentu. Menurut pendapatnya, bentuk pemerintahan Nabi merupakan sebuah lembaga yang sesuai generasi dan oleh karenanya tidak dapat berperan sebagai dasar teori politik dalam islam, begitu juga lembaga pemerintahan pada masa Khulafaur-Rosyidin.
Karenanya ,dengan menolak bahwa peraktek sejarah dapat berlaku sebagai dasar bagi filsafat politik, Ibnu Taimiyah mampu menghindarkan diri dari ”kesalahan menilai kekuasan politik yang ada sebagai kekuasan yang dilegalisasikan oleh bayangan khalifah”, sebagaimana yang menjadi ciri tulisan-tulisan fuqaha yang lahir kemudian. Menurut Qomaruddin Ibnu Taimiyah “menolak komperomi bagi kebaiklan dan menyajikan kepada umat cita-cita politik baru yang Islami ,nyata, peraktis dan tahan uji”.
Ibnu Taimiyah juga mengkeritik teori Syi,ah tentang Imamah seperti yang menjadi tema dominan pada tulisannya, Minhaj al-sunnah. Konsep Syi,ah tentang Imamah dikatakannya tidak mempunyai dasar dalam Al-qur’an maupun As-sunah dan akal sehat [dalil Naqli maupun aqli]. Ia menyebutkan bahwa Imamah merupakan biang keladi perpecahan dan kelemahan umat Islam, karena Syi’ah sendiri tidak pernah sepakat dalam kepemimpinan seorang imam. Bahkan, perbedaan-perbedaan mereka tentang masalah tersebut lebih membahayakan ketimbang aneka perbedaan pada sebagian umat Islam yang lain. Ibn Taimiyah lebih menyukai bani Umayyah daripada Syi’ah. Bani Umayyah ia pandang mampu membingbing rakyat untuk mewujudkan tata pergaulan dunia maupun sepiritual, karena mempunyai kepemimpinan dan pimpinan ysng nysts walaupun tentu tidak terelepas dari beberapa kekurangan.
Filsafat Pilitik dalam Perspektif Yunani dan Islam
“Manusia adalah seekor hewan yang didorong oleh lingkungan (alamnya) untuk berkehidupan yang berbudi luhur”. Demikian pemikiran aprioristic Aristiteles yang mashur untuk Negara. Menurut pendapatnya, Negara atau asosiasi poltik lahir melalui proses alam dan perkembangan yang diperlukan dalam hidup manusia. Di situlah Negara merupakan bentuk tertinggi dalam jenjang yang evolusioner. Dalam Negara itu pula hakekat moral manusia terbentuk dalam sifat-sifatnya yang khusus dan mencapai bentuknya yang tertinggi.
Bagi orang Yunani klasik terutama Aristoteles, Negara tidak hanya dipahami sebagai suatu bentuk organisasi social yang keberadaannya dapat diterima atau di tolak tergantung kepada kebutuhan-kebutuhan tertentu pada sebuah masyarakat, tetapi Negara juga tidak lepas dari sudup pandang yang lebih luas, yakni melibatkan ethos dan psikologi manusia. Asumsi yang di anggap sebagai dasar (basis) pemikiran politik Yunani itu merupakan bukti yang ditemukan dalam berbagai tulisan Plato dan Aristoteles.
Plato memberikan teori pilitiknya dengan menunjukan bahwa keadilan sebenarnya hanya dapat terwujud dlam kontek Negara Republik, konsep yang ditawarknnya tenteng Negara. Negara itulah yang memadukan filsafat dan kekuatan politik. Meskipun tujuannya sama, tetapi logika Aristoteles mempunyai sedikit perbedaan. Ia mengatakan bahwa pemenuhan keutuhan biologis, social dan etika manusia hanya dapat terwujud jika ia tergabung dalam aneka asosiasi (perhimpunan), yang bermula dari keluarga dan berakhir pada Negara. Karena segala sesuatu di tentukan oleh tujuan akhirnya, teleology.
Plato, Aristoteles dan semua ahli teuri klasik, mengakui adanya analogi yang erat antara organisasi Negara dan organisasi manusia itu sendiri. Ketika Plato berbicara tentang tiga unsur dalam diri manusia (rasio, ruh dan nafsu), saat itu pula ia mengatakan sdanya tiga komponen utama dalam sebuah masyarkat, yakni pemerintah, tentara, dan para pekerja. Konsep organic Negara dan masyarakat itu dilatarbelakangi ole hide Yunani tentang perkembangan alamiah asosiasi poltik. Dengan kata lain teori klasik menawarkan tidak adanya rujukan pada hak-hak “individu”, sebab dalam sebuh Negara yang organic prioritas yang ada tertuju pada keseluruhan, bukan bagian. “Keselruhan memang lebih diutamakan daripada sebagian”, demikian kata Aristoteles. Hanya saja tidak adanya ide tentang “perjanjian 9kontrak)”, dasar pijak dalam berbagai teori politik di kemudian hari berasal dari hak-hak “individu” dan dasar teorinya.
Teori atau kensep islam tentang Negara mempunyai sejumlah kesamaan (paralelisme) dengan konsep Yunani. Misalnya, ungkapan berikut menjelaskan pemikiran Ibn Taimiyah tentang perlunya pemerintahan. “Tidak ada manusia yang mampuh meraih kesejahteraan sempurna baik diduniamaupun di akhirat, kecuali jika ia tergabunng dalam sebuah perkumpulan (ijtima), mewujudkan kerjasama dan saling tolong menolong. Maka dapat dikatakan bahwa manusia adalah mahluk politik yan dibentuk oleh alam. Tetapi, perkumpulan manusia itu perlu diatur dengan berbagai ketentuan yang dapat menjaga kesejahteraan mereka baik yang berupa perintah ataupun larangan”.
Pendapat itu perlu dikutip sebab dirasa cukup penting untuk membuktikan bahwa Ibn Taimiyah mempunyai kemiripan dengan bangsa Yunani klasik yang menggolongkan evolusi Negara dan pemerintahan kedalam kecendrungan natural yang berada dalam diri manusia, kecendrungan natural itu mendorongnya untuk bergabung dengan sesame manusia demi mengayuh segenap cita yang terkait dengan kebijakan dan kebahagiaan mereka.
Setelah dikemukakan adanya kesamaan-kesamaan antara filsafata politik Yunani dan konsep Islam tentang Negara, diketahui juga bahwa bangsa Yunani dan umat Issslam mempunyai pandangan-pandangan yang dapat disejajarkan tentang asal usul Negara, cirri organic dan orientasi etis maupun ideologis. Meski demikian, kesejajaran tersebut dapat berubah menjadi perbedaan yang tajam jika ditelusuri rincian masing-masing substansinya. Lepas dari pernyataan umum mereka tentang perlunya Negara secara natural, teori-teori Yinani dan Islam beranjak dari dasar masing-masingdari segenap permasalahannya kendati keduanya Nampak mengadopsi pendekatan yang serupa. Umpamanya bangsa Yunani dan umat Islam menggunakan analogi jiwa dalam analisis politik mereka. Namun, karena keduanya menganut pandangan-pandangan yang berbeda tentang hakikat jiwa, maka perbedaan inipun mencuat kembali dalam bebagai interpretasi analogis mereka tentang perkembangan politik.
Kedua teori itu sama-sama menggunakan perspektif organic serupa. Bila dikaitkan dengan masalah individu, maka masing-masing terikat untuk menandainya dengan sebuah peranan yang segaris dengan system etikanya sendiri-sendiri. Masyarakat Yunani mengharpkan individu untuk menunjukan fungsinya, yakni melakukan yang terbaik dalam memberikan sumbangsih bagi “kesempurnaan manusia”, sedang Islam menuntut individu untuk memnuhu “kewajiban-kewajibannya” kepada Allah dan sesame muslim dan hubungannya dengan kepentingan umat. Hanya saja, warga Yunani maupun kaum islam tidak di tuntuk untuk memberikan pernyataan-pernyataan tentang masyarakat atas dasar individualitasnya.
Islam dan Masalah Kenegaraan
Konsep Islam mengenai kebutuhan manusia akan Negara didasarkan pada akal dan hadis. Argument rasional terletak pada kebutuhan universal semua manusia untuk bergabung, bekerjasama dan menikmati berbagai manfaat kepemimipinan tanpa peduli apakah mereka menganut suatu agama atau tidak. Argument rasional itu juga diperkuat dengan landasan dari Sunnah Nabi (hadis) yaitu: “Bila ada tiga orang melakukan perjalanan, maka salah seorang diantara mereka selayaknya menjadi pimpinan”, dan juga sbdanya: “enam puluh tahun berada dibawah tirani lebih baik daripada satu malam tanpa pemerintahan”. Kedua hadis tersebut menekankan perlunya nasehat bagi pemimpin politik dan kepatuhan terhadap aturan-aturan mereka sebagai kewajiban agama.
Memang, istilah Negara (daulah) tidak disinggung dalam Al-Qur’an dan As-Sunah,tetapi unsure-unsur esensial yang menjadi dasar Negara dapat ditemukan dalam kitab suci itu. Umpamanya Al-Qur’an menjelaskan seperangkan perinsif atau fungsi yang dapat diterjemahkan dengan adanya tata tertib sosio-politik atau segenap perlengkapan bagi tegaknya sebuah Negara. Termasuk didalamnya adalah keadilan, persaudaraan, ketahanan, kepatuhan dan kehakiman. Lebih dari itu tugas keagamaan penting yang ditentukan dalam Al-Qur’an dan As-Sunah seperti pengumpulan zakat, menghukum tindakan keriminal dan organisasi jihad tidak dapat terlaksana dengan sempurna tanpa intervensi penguasa politik yang resmi.
Dalam Al-Siyasah Al-Shar’iyyah karangan Ibn Taimiyah, ia menganggap penegakan Negara sebagai tugas suci yang dituntut oleh agama dan merupakan salah satu perangkat untuk mendekatkan manusia kepada Allah. Mendirikan sebuah Negara berarti menyediakan fungsi yang besar untuk menegakan ungkapan berikut: “Melihat tegagknya sebuah keadilan berarti melaksanakan sebuah perintah dan menghindar dari kejahatan dan memasyarakatkan tauhid serta mempersiapkan bagi munculnya sebuah masyarakat yang hanya mengabdi kepada Allah”.
Rupa-Rupa Politik
Dalam masyarakat Islam, seperti halnya dalam lingkungan masyarakat dunia yang lain, lembaga-lembaga politik dibangun dengan cara yang dianggap paling cocok untuk mempromosikan garis-garis besar nilai-nilai pokok mereka. Lembaga Khalifah yang muncul setelah wafat Nabi mempunyai kedudukan sebagai lembaga politik tertinggi dalam Islam yang menimbulkan kesatuan uamat Islam dimanapun. Sebagai mana diketahui, lembaga itu menjadi sasaran aneka ragam tantangan praktis dan teoritis yang berakhir dengan runtuhnya kekuatan dan prestise kantor kekhalifahan. Kendati demikian, lembaga tersebut tetap menggaungkan pengaruh simbolis dalam benak umat Islam dan berupaya terus hidup dalam bentuk lain sampai kemudian lenyap secara resmi pada masa Mustafa kamal Ataturk tahun 1924.
Ummah Sebagai Raga Politik
Mungkin saja, konsep terpenting dalam pemikiran politik Islam adalah konsep ummah atau komunitas orang-orang yang beriman. Nieuwenhuije mengatakan bahwa “sejarah islam agaknya dapat ditulis dengan berpedoman pada kesatuan fungsional primodialnya, Ummah yang saat ini telah diwujudkan dibawah kondisi-kondisi pelengkapnya yang dianggap sederajat. Dengan cara serupa, kedudukan Isla pada waktu tertentu dapat diakaji dengan cara yang mereka gunakan dalam memahami kedudukan demi mewujudkan Ummah”. Pada tahap permulaan, kata Ummah diterjemahkan sebagai suatu kesatuan abstrak yang menimbulkan kesatuan semua warga muslim. Maka Ummah dapat berlaku sebagai suatu kekuatan yang memelihara dan memperkuat kohesi yang telah ada.
Menurt makan istilah, Ummah meliputi totalitas (jamaah) individu-individu yang saling terikat oleh tali atau ikatan agama, bukan kekeluargaan ataupun ras. Di dalam Ummah segenap anggota bersaksi sepenuhnya bahwa tidak ada Tuhan keceuali Allah dan Muhammad adalah Rosul-Nya. Di hadapan Allah semua anggota mempunyai derajat yang sama, tidak ada perbedaan tingkatan, kelas dan ras.
Dalam dokumen yang disebut “Konstitusi Madinah” atau ‘Piagam madinah”, istilah Ummah digunakan dalam dua arti yang berbeda dalam dua bagian dokumen:
1. Pada bagian awal istilah Ummah digunakan dalam arti khusus, yakni masyarakat keagamaan orang-orang yang beriman.
2. Pada bagian kedua, kata Ummah ddiartikan sebagai masyarakat persekutuan secara umum atau ssuatu aliansi defensive.
Namun demikian, corak konfederasi dengan masyarakat non-muslim dipandang tidak berubah keunikan dasar dan kekhususan umat Islam.
Sisi paling penting peranan Ummah dalamIslam adalah tingkat solideritasnya yang tinggi. Bentuk solideritas itu tidak sama dengan solideritas mekanis yang muncul dari keberadaan manusia dalam suatu masyarakat dengan faktor-faktoryang umum seperti wilayah, budaya daan bahasa (faktor-faktor yang lazim ada dalam sebyah bangsa). Solidaritas Islam adalah sebuah solidaritas organic yang menciptakan dan berupaya menggayuh eksistensi tujuan yang bersifat umum dan menghendaki partisipasi setiap warganya untuk merealisasikan tujuan itu dalam batas-batas perangkat yang dimiliki sejalan dengan keragaman tugas (kewajiban) masing-masing.
Dalam batas-batas Negara Islam, Ummah mempunyai peranan penting dalam gelanggang politik. Ummah tidak hanya menyediakan diri sebagai badan politik yang menjadi dasar Negara islam, tetapi juga dilimpahi karunia Allah dengan cirri khusus seperti yang tersurat dalam sabda nabi “Masyarakatku taidak akan pernah sepakat dalam kesalahan”.
Pada abad ketujuh di Arabia Tengah (sekarang Saudi Arabia) bangkit sebuah gerakan agama baru yakni agama Islam. Agama ini dengan cepat tersebar kesegala penjuru dan kemudian menjadi agama kedua terbesar jumlah pemeluknya di dunia. Islam bukan hanya sekedar masyarakat kerohanian, tetapi juga merupakan sebuah Negara, sebuah imperium. Islam bekembang sebagai gerakan keagamaan dan politik yang di dalamnya agama menyatu terhadap Negara dan masyarakat. Kepercayaan seorang muslim bahwa islam mengemban keimanan dan politik berakar pada kitab yang dianggap wahyu illahi, yaitu al-Qur’an, beserta Sunnah dari pembangunnya dan nabinya, yakni Muhammad, sehingga kepercayaan itu tercermin dalam ajaran Islam, sejarah, dan perkembangan politiknya.
Sejarah Pengumulan Pemikiran Politik (Islam)
Pemikiran politik islam pada umumnya merupakan produk “perdebatan besar” yang terfokus pada masalah religi politik tentang Imamah dan Kekhalifahan. Di Madinah, merupakan tempat yang dipilih Nabi Muhammad untuk menetap setelah teraniyaya di Mekkah, dimana pada masa tahun pertamaterdapat sedikit kontroversi mengenai siapa yang pantas mengendalikan kekuatan politik.
Dalam teori maupun praktek, Nabi menempati suatu posisi yang unik sebagai pemimpin dan sumber sepiritual undang-undang Ketuhanan, namun sekaligus juga pemimpin pemerintahan Islam yang pertama. Kerangka kerja Konstitusional pemerintahan ini terungkap dalam sebuah dokumen terkenal yang disebut dengan “Konstitusi Madinah” atau “Piagam Madinah”.
Dalam dokumen tersebut terdapat langkah pertama dan amat penting bagi terwujudnya sebuah badan pemerintahan Islam atau Ummah. Menurut piagam itu, konsep suku tentang pertalian darah digantikan dengan ikatan iman yang bersifat idiologis. Piagam ini juga menyuguhkan landasan bagi perinsip saling menghormati dan menghargai antara orang-orang Islam dan orang-orang yang mengikuti, bergabung, dan berjuang bersama mereka. Mereka, yang dimaksudkan dalam pembukaan piagam itu adalah masyarakat yahudi Madinah.
Menurut konstitusi tersebut, orang-orang Islam dan semua warga yang tinggal di Madinah tergabung dalam satu masyarakat (pasal 1) yang secara fisik dan politis berbeda dengan kelompok-kelompok lain (pasal 1 dan 39). Sejak hijrah ke Madinah tahun 622 M, sampai saat wafat pada 06 Juni 632 M Nabi Muhammad berperan sebagai pemimpin yang tidak dapat dibantah (unquestionable leader) bagi Negara Islam yang baru lahir itu. Sebfagai nabi, ia meletakan perinsip-perinsip agama Islam, memimpin shalat serta menyampikan khutbah. Sebagai negarawan, ia mengutus duta keluar negri, membentuk angkatan perang,dan membagikan rampasan perang. Peristiwa wafatnya Nabi yang tidak terduga menjadi sebab larutnya masyarakat dalam ketidakpastian tentang kerisis penggantinya.
Semasa kehidupannya Nabi tidak pernah menyampaikan wasiat tentang siapa yang berhak menggantikannya sebagai pimpinan Negara Islam. Inilah yang menjadi pemicu lahirnya perdebatan sengit dan berkepanjangan mengenai syarat-syarat imam atau pemimpin umat Islam. Selama masa pergolakan inilah dapat ditemukan berbagai macam kelahiran ragam faksi politik yang membentuk spectrum pemikiran politik Islam dengan perdebatan melibatkan berbagai masalah seperti basis obligasi politik, syarat-syarat pemerintahan Islam, peruses terwujudnya konstitusi, dan pemberontakan terhadap kekuasaan yang ada.
Sebab-sebab Munculnya Politik Pemerintahan Islam
Segala kejadian di masa Rasulullah dan sesudahnya, menyanghkut cara para khalifah mengendalikan pemerintahan yang terjadi di jaman mereka, termasuk politik pemerintahan, administrasi Negara dan system pemilihan pra pejabat, perubahn kondisional yang seharusnya memang terjadi akibat penaklukan-penaklukan serta bertambah luasnya wilayah Negara, di tambah lagi adanya perbedaan system dalam masyarakat Islam pada masing-masing khalifah, sampai peristiwa al-fitnah al-kubra. Selanjutnya masa kenabian dapat dibagi dalam duaa periode:
1. Masa sebelum hijrah
2. Masa sesudah hijrah
Antara keduanya, tidak ada kelebihan ataupun perbedaan yang menonjol sebagai mana yang dinyatakan oleh sebagai kaum orientalis. Lebih tepat dikatakan, masa yang pertama adalah masa persiapan untuk yang kedua. Pada masa sebelum hijrah langkah-langkah permulaan dari masyarakat Islam dan peletakan sendi-sendi yang mendasar secara umum, sedangkan masa sesudahnya merupakan penyempurnaan tatanan masyarakat yang bersifat lebih rinci serta mengacu pada perinsip-perinsip yang baru. Pada masa kenabian Muhammad sebagai masa pembentukan dan pembinaan untuk meletakan dasar bagi sesuatu yang besar dengan peristiwa yang akan dilalui oleh generasi selanjutnya.
Perlu dicatat, banyak fenomena dalam system pemerintahan sesudahnya yang belum nampak pada masa Nabi, namun tidak berarti menghilangkan system asli yang telah di garisakan adanya secara umum pada masa Nabi. Karena semunya berangkat dari kaidah-kaidah dasar system pemerintahan yang bertujuan untuk mencapai kesejahteraan manusia, mencegah permusuhan atau kezaliman satu terhadap yang lain. Maka system pemerintahan yang berdasarkan pada kaidah umum ini telah diterapkan Di masa Rasulullah dan dimasa Khulafa al-Rasydin yang mana mereka mengharuskan untuk kembali kepada Al-qur’an dan Assunah dalam kiprah politik pemerintahan.
Pemikiran Politik Islam
Hubungan integral antara agama dengan politik delam islam dan penegasan himbauan pihak muslim untuk meralisir ketetapan allah ,memperlihatkan refleksinya dalam kecenderungan meninjau pemberontakan-pemberontakan politik dan social (seumpama perang Riddat ,hak-hak social bagi Muslim non-Arab,pemisahan politik oleh Syi`ah maupun Khawarij) bukan ekedar permasalahan politik tapi pula permasalahan keagamaan.Pemberontakan suku-suku Arab sesudah Muhammad wafat bukan suatu pengkhianatan (treason) akan tetapi belot agama (apostasy).Penjelmaan sistematik dari idea Islam termuat dalam hokum islam.Walau bagaimanapun,seperti dapat kita saksikan,realitas sejarah sering dihadapkan kepada keganjilan-keganjilan ditilik dari idea yang normatif itu.Ekspansi luar biasa pada masa-masa permulaan itu beserta perkembangan islam sebagai negara memastikan keputusan-keputusan yang segera dari pihak para khalif dan para panglima daripada perencanaan yang reflektif dari pihak sarjana (scholar=ulama)dan perumus politik (policy makers).infrastruktur dalam bidang politik maupun social pada masa Umayyah maupun pada masa Abbasiah bukan lahir dari penafsiran-penafsiran yang sistematik dan amplikasi ideology islam akan tetapi akibat menampung kebijaksanaan-kebijaksanan rezim yang digantikan, terutama dari pihak Birantium dan dari pihak Sassanids.
Tuntunan yang luas dari pandangan Islam dalam perbandingannya dengan watak yang berbeda dari pemerintahan Islam, yakni diskrepansi yang tajam antara idea yang di wahyukan dengan realitas politik, menyebabkan timbul tantangan bagi keraadran pihak muslim, terlebih khusus bagi pihak ulama yang menganggap dirinya “the guardians if islam”, yakni pihak yang menjaga dan mempertahankan Islam. Sebagai akibatnya , teori Islam tentang watak Khilafat berkembang bukan akibat dedukasi maupun spekulasi tentang watak pemerintahan Islam akan tetapi akibat realitas politik, yang dengan sendirinya memperlihatkan keganjilan-keganjilan bilamana ditilik daqri norma-norma Islam.
Betapapun juga kepercayaan tentang kesatuan agama dengan politik dalam kehidupan masyarakat sepanjang sejarah sering memperlihatkan kontradiksi dengan idea islam. Permasalahan yang di timbulkan oleh perbedaan antara keyakinan dengan kenyataan telah menyebabkan bangkitnya perkembangan pemikiran politik Islam. Sekalipun pemikiran politik Islam itu punya variasi, tapi perinsip yang umum muncul: syarat yang sekurang-kurangnya bagi pemerintahan Islam itu bukan watak kepala Negara tapi pemerintahan sesuai dengan syari’ah. Pengakuan pihak penguasa bahwa syari’ah itu hokum resmi dalam Negara maka hal itu sudah menjamminnkan kesatuan masyarakat serta pola ataupun watak Islam. Hukum Islam bukan komitmen keagamaan maupun watak moral pihak penguasa, adalah criteria bagi legitimasi Negara Islam.
Teori Politik
Kajian [setudi] ini diawali dengan penelitian kritis terhadap teori khilafah yg berkembang hingga massa Ibnu Taimiyah, seraya menyinggung adanya kebutuhan akan pendekatan yg lebih kritis terhadap pemeritah islam .Artinya ,bila perkembangan sejarah tidak terabaikan ,maka nilai prinsip-prinsip teori yang kritis tentu akan terpelihara. Teori khilafah tidak mampu memenuhi tujuan itu karena terlalu bersandar pada sejarah sehingga penelitan yang dimaksud kehilangan kontak dengan tujuan semula [idealitasnya]
Ibnu Taimiyah menemukan metodologi yang mempermasalahkan peraktek-peratek kehidupan dan pandangan dimasanya yang dianggap menyimpang dari ajaran Islam. Penyimpamgan–penyimpanan itu disebabkan oleh berbagai faktor,terutama taklid buta terhadap perilaku bid’ah, atau fitnah menyesatkan. Dengan mengambil peranan sebagai pengontrol terhadap aneka peristiwa yang ada , Ibnu Taimiyah menyajikan teori politik Islam yang di harapkan mampu nenutup keterbatasan-keterbatasan pada teori tersebut dengan mengajukan teori kekhalifahan klasik.
Cukup menarik, bahwa Ibnu Taimiyah tidak hanya mengkritik teori kekhalifahan,tetapi juga tidak memandang perlunya kekhalifahan sama sekali.Ia meragukan Validitas pendapat bahwa kekhalifahan berasal dari AL-Qur’an dan As-Sunnah,atau bahkan latar belakang sejarah Khulafaur-Rasyidin yang dianggapnya tak lebih dari sebuah aksiden,bukan missal atau contoh kehiduppan. Praktek kehidupan Nabi sendiri oleh Ibnu Taimiyah tidak di pandang sebagai dasar pijak untuk mengadopsi bentuk pemerintahan tertentu. Menurut pendapatnya, bentuk pemerintahan Nabi merupakan sebuah lembaga yang sesuai generasi dan oleh karenanya tidak dapat berperan sebagai dasar teori politik dalam islam, begitu juga lembaga pemerintahan pada masa Khulafaur-Rosyidin.
Karenanya ,dengan menolak bahwa peraktek sejarah dapat berlaku sebagai dasar bagi filsafat politik, Ibnu Taimiyah mampu menghindarkan diri dari ”kesalahan menilai kekuasan politik yang ada sebagai kekuasan yang dilegalisasikan oleh bayangan khalifah”, sebagaimana yang menjadi ciri tulisan-tulisan fuqaha yang lahir kemudian. Menurut Qomaruddin Ibnu Taimiyah “menolak komperomi bagi kebaiklan dan menyajikan kepada umat cita-cita politik baru yang Islami ,nyata, peraktis dan tahan uji”.
Ibnu Taimiyah juga mengkeritik teori Syi,ah tentang Imamah seperti yang menjadi tema dominan pada tulisannya, Minhaj al-sunnah. Konsep Syi,ah tentang Imamah dikatakannya tidak mempunyai dasar dalam Al-qur’an maupun As-sunah dan akal sehat [dalil Naqli maupun aqli]. Ia menyebutkan bahwa Imamah merupakan biang keladi perpecahan dan kelemahan umat Islam, karena Syi’ah sendiri tidak pernah sepakat dalam kepemimpinan seorang imam. Bahkan, perbedaan-perbedaan mereka tentang masalah tersebut lebih membahayakan ketimbang aneka perbedaan pada sebagian umat Islam yang lain. Ibn Taimiyah lebih menyukai bani Umayyah daripada Syi’ah. Bani Umayyah ia pandang mampu membingbing rakyat untuk mewujudkan tata pergaulan dunia maupun sepiritual, karena mempunyai kepemimpinan dan pimpinan ysng nysts walaupun tentu tidak terelepas dari beberapa kekurangan.
Filsafat Pilitik dalam Perspektif Yunani dan Islam
“Manusia adalah seekor hewan yang didorong oleh lingkungan (alamnya) untuk berkehidupan yang berbudi luhur”. Demikian pemikiran aprioristic Aristiteles yang mashur untuk Negara. Menurut pendapatnya, Negara atau asosiasi poltik lahir melalui proses alam dan perkembangan yang diperlukan dalam hidup manusia. Di situlah Negara merupakan bentuk tertinggi dalam jenjang yang evolusioner. Dalam Negara itu pula hakekat moral manusia terbentuk dalam sifat-sifatnya yang khusus dan mencapai bentuknya yang tertinggi.
Bagi orang Yunani klasik terutama Aristoteles, Negara tidak hanya dipahami sebagai suatu bentuk organisasi social yang keberadaannya dapat diterima atau di tolak tergantung kepada kebutuhan-kebutuhan tertentu pada sebuah masyarakat, tetapi Negara juga tidak lepas dari sudup pandang yang lebih luas, yakni melibatkan ethos dan psikologi manusia. Asumsi yang di anggap sebagai dasar (basis) pemikiran politik Yunani itu merupakan bukti yang ditemukan dalam berbagai tulisan Plato dan Aristoteles.
Plato memberikan teori pilitiknya dengan menunjukan bahwa keadilan sebenarnya hanya dapat terwujud dlam kontek Negara Republik, konsep yang ditawarknnya tenteng Negara. Negara itulah yang memadukan filsafat dan kekuatan politik. Meskipun tujuannya sama, tetapi logika Aristoteles mempunyai sedikit perbedaan. Ia mengatakan bahwa pemenuhan keutuhan biologis, social dan etika manusia hanya dapat terwujud jika ia tergabung dalam aneka asosiasi (perhimpunan), yang bermula dari keluarga dan berakhir pada Negara. Karena segala sesuatu di tentukan oleh tujuan akhirnya, teleology.
Plato, Aristoteles dan semua ahli teuri klasik, mengakui adanya analogi yang erat antara organisasi Negara dan organisasi manusia itu sendiri. Ketika Plato berbicara tentang tiga unsur dalam diri manusia (rasio, ruh dan nafsu), saat itu pula ia mengatakan sdanya tiga komponen utama dalam sebuah masyarkat, yakni pemerintah, tentara, dan para pekerja. Konsep organic Negara dan masyarakat itu dilatarbelakangi ole hide Yunani tentang perkembangan alamiah asosiasi poltik. Dengan kata lain teori klasik menawarkan tidak adanya rujukan pada hak-hak “individu”, sebab dalam sebuh Negara yang organic prioritas yang ada tertuju pada keseluruhan, bukan bagian. “Keselruhan memang lebih diutamakan daripada sebagian”, demikian kata Aristoteles. Hanya saja tidak adanya ide tentang “perjanjian 9kontrak)”, dasar pijak dalam berbagai teori politik di kemudian hari berasal dari hak-hak “individu” dan dasar teorinya.
Teori atau kensep islam tentang Negara mempunyai sejumlah kesamaan (paralelisme) dengan konsep Yunani. Misalnya, ungkapan berikut menjelaskan pemikiran Ibn Taimiyah tentang perlunya pemerintahan. “Tidak ada manusia yang mampuh meraih kesejahteraan sempurna baik diduniamaupun di akhirat, kecuali jika ia tergabunng dalam sebuah perkumpulan (ijtima), mewujudkan kerjasama dan saling tolong menolong. Maka dapat dikatakan bahwa manusia adalah mahluk politik yan dibentuk oleh alam. Tetapi, perkumpulan manusia itu perlu diatur dengan berbagai ketentuan yang dapat menjaga kesejahteraan mereka baik yang berupa perintah ataupun larangan”.
Pendapat itu perlu dikutip sebab dirasa cukup penting untuk membuktikan bahwa Ibn Taimiyah mempunyai kemiripan dengan bangsa Yunani klasik yang menggolongkan evolusi Negara dan pemerintahan kedalam kecendrungan natural yang berada dalam diri manusia, kecendrungan natural itu mendorongnya untuk bergabung dengan sesame manusia demi mengayuh segenap cita yang terkait dengan kebijakan dan kebahagiaan mereka.
Setelah dikemukakan adanya kesamaan-kesamaan antara filsafata politik Yunani dan konsep Islam tentang Negara, diketahui juga bahwa bangsa Yunani dan umat Issslam mempunyai pandangan-pandangan yang dapat disejajarkan tentang asal usul Negara, cirri organic dan orientasi etis maupun ideologis. Meski demikian, kesejajaran tersebut dapat berubah menjadi perbedaan yang tajam jika ditelusuri rincian masing-masing substansinya. Lepas dari pernyataan umum mereka tentang perlunya Negara secara natural, teori-teori Yinani dan Islam beranjak dari dasar masing-masingdari segenap permasalahannya kendati keduanya Nampak mengadopsi pendekatan yang serupa. Umpamanya bangsa Yunani dan umat Islam menggunakan analogi jiwa dalam analisis politik mereka. Namun, karena keduanya menganut pandangan-pandangan yang berbeda tentang hakikat jiwa, maka perbedaan inipun mencuat kembali dalam bebagai interpretasi analogis mereka tentang perkembangan politik.
Kedua teori itu sama-sama menggunakan perspektif organic serupa. Bila dikaitkan dengan masalah individu, maka masing-masing terikat untuk menandainya dengan sebuah peranan yang segaris dengan system etikanya sendiri-sendiri. Masyarakat Yunani mengharpkan individu untuk menunjukan fungsinya, yakni melakukan yang terbaik dalam memberikan sumbangsih bagi “kesempurnaan manusia”, sedang Islam menuntut individu untuk memnuhu “kewajiban-kewajibannya” kepada Allah dan sesame muslim dan hubungannya dengan kepentingan umat. Hanya saja, warga Yunani maupun kaum islam tidak di tuntuk untuk memberikan pernyataan-pernyataan tentang masyarakat atas dasar individualitasnya.
Islam dan Masalah Kenegaraan
Konsep Islam mengenai kebutuhan manusia akan Negara didasarkan pada akal dan hadis. Argument rasional terletak pada kebutuhan universal semua manusia untuk bergabung, bekerjasama dan menikmati berbagai manfaat kepemimipinan tanpa peduli apakah mereka menganut suatu agama atau tidak. Argument rasional itu juga diperkuat dengan landasan dari Sunnah Nabi (hadis) yaitu: “Bila ada tiga orang melakukan perjalanan, maka salah seorang diantara mereka selayaknya menjadi pimpinan”, dan juga sbdanya: “enam puluh tahun berada dibawah tirani lebih baik daripada satu malam tanpa pemerintahan”. Kedua hadis tersebut menekankan perlunya nasehat bagi pemimpin politik dan kepatuhan terhadap aturan-aturan mereka sebagai kewajiban agama.
Memang, istilah Negara (daulah) tidak disinggung dalam Al-Qur’an dan As-Sunah,tetapi unsure-unsur esensial yang menjadi dasar Negara dapat ditemukan dalam kitab suci itu. Umpamanya Al-Qur’an menjelaskan seperangkan perinsif atau fungsi yang dapat diterjemahkan dengan adanya tata tertib sosio-politik atau segenap perlengkapan bagi tegaknya sebuah Negara. Termasuk didalamnya adalah keadilan, persaudaraan, ketahanan, kepatuhan dan kehakiman. Lebih dari itu tugas keagamaan penting yang ditentukan dalam Al-Qur’an dan As-Sunah seperti pengumpulan zakat, menghukum tindakan keriminal dan organisasi jihad tidak dapat terlaksana dengan sempurna tanpa intervensi penguasa politik yang resmi.
Dalam Al-Siyasah Al-Shar’iyyah karangan Ibn Taimiyah, ia menganggap penegakan Negara sebagai tugas suci yang dituntut oleh agama dan merupakan salah satu perangkat untuk mendekatkan manusia kepada Allah. Mendirikan sebuah Negara berarti menyediakan fungsi yang besar untuk menegakan ungkapan berikut: “Melihat tegagknya sebuah keadilan berarti melaksanakan sebuah perintah dan menghindar dari kejahatan dan memasyarakatkan tauhid serta mempersiapkan bagi munculnya sebuah masyarakat yang hanya mengabdi kepada Allah”.
Rupa-Rupa Politik
Dalam masyarakat Islam, seperti halnya dalam lingkungan masyarakat dunia yang lain, lembaga-lembaga politik dibangun dengan cara yang dianggap paling cocok untuk mempromosikan garis-garis besar nilai-nilai pokok mereka. Lembaga Khalifah yang muncul setelah wafat Nabi mempunyai kedudukan sebagai lembaga politik tertinggi dalam Islam yang menimbulkan kesatuan uamat Islam dimanapun. Sebagai mana diketahui, lembaga itu menjadi sasaran aneka ragam tantangan praktis dan teoritis yang berakhir dengan runtuhnya kekuatan dan prestise kantor kekhalifahan. Kendati demikian, lembaga tersebut tetap menggaungkan pengaruh simbolis dalam benak umat Islam dan berupaya terus hidup dalam bentuk lain sampai kemudian lenyap secara resmi pada masa Mustafa kamal Ataturk tahun 1924.
Ummah Sebagai Raga Politik
Mungkin saja, konsep terpenting dalam pemikiran politik Islam adalah konsep ummah atau komunitas orang-orang yang beriman. Nieuwenhuije mengatakan bahwa “sejarah islam agaknya dapat ditulis dengan berpedoman pada kesatuan fungsional primodialnya, Ummah yang saat ini telah diwujudkan dibawah kondisi-kondisi pelengkapnya yang dianggap sederajat. Dengan cara serupa, kedudukan Isla pada waktu tertentu dapat diakaji dengan cara yang mereka gunakan dalam memahami kedudukan demi mewujudkan Ummah”. Pada tahap permulaan, kata Ummah diterjemahkan sebagai suatu kesatuan abstrak yang menimbulkan kesatuan semua warga muslim. Maka Ummah dapat berlaku sebagai suatu kekuatan yang memelihara dan memperkuat kohesi yang telah ada.
Menurt makan istilah, Ummah meliputi totalitas (jamaah) individu-individu yang saling terikat oleh tali atau ikatan agama, bukan kekeluargaan ataupun ras. Di dalam Ummah segenap anggota bersaksi sepenuhnya bahwa tidak ada Tuhan keceuali Allah dan Muhammad adalah Rosul-Nya. Di hadapan Allah semua anggota mempunyai derajat yang sama, tidak ada perbedaan tingkatan, kelas dan ras.
Dalam dokumen yang disebut “Konstitusi Madinah” atau ‘Piagam madinah”, istilah Ummah digunakan dalam dua arti yang berbeda dalam dua bagian dokumen:
1. Pada bagian awal istilah Ummah digunakan dalam arti khusus, yakni masyarakat keagamaan orang-orang yang beriman.
2. Pada bagian kedua, kata Ummah ddiartikan sebagai masyarakat persekutuan secara umum atau ssuatu aliansi defensive.
Namun demikian, corak konfederasi dengan masyarakat non-muslim dipandang tidak berubah keunikan dasar dan kekhususan umat Islam.
Sisi paling penting peranan Ummah dalamIslam adalah tingkat solideritasnya yang tinggi. Bentuk solideritas itu tidak sama dengan solideritas mekanis yang muncul dari keberadaan manusia dalam suatu masyarakat dengan faktor-faktoryang umum seperti wilayah, budaya daan bahasa (faktor-faktor yang lazim ada dalam sebyah bangsa). Solidaritas Islam adalah sebuah solidaritas organic yang menciptakan dan berupaya menggayuh eksistensi tujuan yang bersifat umum dan menghendaki partisipasi setiap warganya untuk merealisasikan tujuan itu dalam batas-batas perangkat yang dimiliki sejalan dengan keragaman tugas (kewajiban) masing-masing.
Dalam batas-batas Negara Islam, Ummah mempunyai peranan penting dalam gelanggang politik. Ummah tidak hanya menyediakan diri sebagai badan politik yang menjadi dasar Negara islam, tetapi juga dilimpahi karunia Allah dengan cirri khusus seperti yang tersurat dalam sabda nabi “Masyarakatku taidak akan pernah sepakat dalam kesalahan”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar