PENDAHULUAN
Pada saat Undang Undang nomor 3 Tahun 1971 tentang Tindak Pidana Korupsi diundangkan pada tanggal 29 Maret 1971, berbagai harapan diungkapkan agar undang undang tersebut menjadi sarana yang efektif dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Ternyata apa yang diharapkan dengan kelahiran Undang Undang Nomor 31 tahun 1971 dalam perjalanan waktu masih belum dapat memenuhi harapan, karena dipandang sudah tidak sesuai dengan perkembangan kebutuhan hukum. Bahkan ada anggapan bahwa tidak efektifnya pemberantasan korupsi dalam kurun waktu sempurna undang undangnnya.
Memasuki era reformasi,pada tanggal 16 agustus 1999 diundangkan Undang Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menggantikan undang Undang nomor 3 Tahun 1971. Dalam perjelasan umum Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 ditegaskan, bahwa undang undang ini diharapakan mampu memenuhi dan mengantisipasi perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dalam rangka mencegah dan memberantas secara lebih efektif setiap bentuk tindak pidana korupsi yang sangat merugikan keuangan Negara maupun prekonomian Negara pada khususnya serta masyarakat pada umumnya.
Dari aspek nilai, Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 memiliki beberapa nilai tambah jika dibandingkan dengan undang Undang Nomor 3 Tahun 1971, antara lain:
1. Dalam kaitannya dengan partisipasi publik, untuk membantu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi, penerapan system pembuktian terbalik secara terbatas;
2. Kemudahan untuk membuka kerahasiaan bank tentang keadaan keuangan tersaangka/terdakwa tanpa harus meminta izin terlebih dahulu kepada Mentri Keuangan RI;
3. Mengatur tentang ancaman pidana minimum khusus, pidana denda yang lebih tinggi, dan ancaman pidana mati serta pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK);
4. Peran serta masyarakat dengan reward system dan dengan rincian tentang perlindungan hukum.
Bahwa tindak pidana korupsi yang terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan Negara tetapi juga telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak social dan ekonomi masyarakat secara luas, sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa. Di samping itu, untuk lebih menjamin kepastian hukum, menghindari keragaman penafsiran hukum dan memberikan perlindungan terhhadap hak-hak social dan ekonomi masyarakat serta perlakuan secara adil dalam memberantas tindak pidana korupsi, maka perlu diadakan perubahan atas Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang dikenal dengan Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
PEMBAHASAN
A. Pengertian Korupsi
Dalam Ensiklofedia Indonesia disebut ‘korupsi’ (dari bahasa latin: corruption= penyuapan; corrupture= merusak) gejala dimana para pejabat, badan-badan negara menyalahgunakan wewenang dengan terjadinya penyuapan, pemalsuan, serta ketidak beresan lainnya. Adapun arti harfiah dari korupsi dapat berupa:
a. Kejahatan, kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan, dan ketidak jujuran.
b. Perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok.
Secara harfiah korupsi merupakan suatu yang busuk, jahat, dan merusak. Jika membicarakan tentang korupsi memang akan menemukan kenyataan semacam itu karena korupsi menyangkut segi-segi moral, sifat dan keadaan yang busuk, jabatan dalam instansi atau aparatur pemerintah, penyelewengan kekuasaan dalam jabatan karena pemberian, factor ekonomi dan politik, serta penempatan keluarga atau golongan kedalam kedinasan dibawah kekuasan jabatannya. Dengan demikian, secara harfiah dapat ditarik kesimpulan bahwa sesungguhya istilah korupsi memiliki arti yang sangat luas.
1. Korupsi, penyelewengan atau penggelapan (uang Negara atau peruusahaan dan sebagainya) untuk kepentingan peribadi maupun orang lain.
2. Korupsi; busuk; rusak; suka memakai barang atau uang yang dipercayakan kepadanya; dapat disogok (melalui kekuasaannya atau kepentingan peribadi).
Adapun menurut Subekti dan Tjitrosoudibio dalam kamus hukum, yang dimaksud corruptive adalah korupsi; perbuatan curang; tindak pidana yang merugikan keuangan Negara.
B. Perubahan Perumusan Delika
Undang Undang Nomor 3 Tahun 1971 apabila dibandingkan dengan Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah dan ditambah dengan undang Undang Nomor 21 Tahun 2001, maka salah satu perubahannya adalah perubahan rumusan delik.
Rumusan delik yang termuat dalam Undang undang Nomor 3 tahun 1971 hanya tujuh (7) pasal dari dua puluh enam (26) pasal yang ada dalam undang undang tersebut. Ketujuh pasal tersebut adalah pasal 1 ayat (1) sub a,b,d dan e; pasal-pasal 29,30 dan 31. Tetapi untuk pasal 29 sampai pasal 31 tidak berkenaan dengan korupsi dalam arti materil dan keuangan, hanya mengenai perbuat Undang Undang nomor 3 tahun 1971 yang mempersulit pemeriksaan perkara korupsi pada tingkat penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan dimuka perrsidangan pengadilan. Dengan demikian, Korupsi dalam arti materil dan keuangan terdapat hanya dalam empat rumusan, yaitu sub a,b,d dan e dalam pasal 1 ayat (1). Sedangkan rumusan yang tercantum dalam pasal1 ayat (1) sub c adalah penarikan 13 pasal dari Kitab Undang Undang Hukum Pidana(KUHP).
Pasal 1 ayat (1) sub a Undang Undang Nomor 3 Tahun 1971, berubah menjadi pasal 2 Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 dengan beberapa perubahan redaksi. Begitu pula rumusan pasal 1 ayat (1) sub b Undang Undang Nomor 31 tahun 1971 menjadi pasal 3 Undang Undang Nomor 31 tahun 1999. Pasal 1 ayat (1) sub d Undang Undang Nomor 31 tahun 1971 menjadi pasal 13 Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang Undang Nomor 21 Tahun 2001. Pasal 1 ayat (1) sub e Undang Undang Nomor 3 Tahun 1971 dihapus karena tidak logis, seseorang tang telah melakukan perbuatan korupsi melaporkan diri dan apabila tidak melaporkan merupakan delik tersendiri. Dalam realitas tidak pernah ada orang yang dituntut berdasarkan pasal 1 ayat (1) sub e Undang Undang Nomor 3 Tahun 1971.
Dalam perumusan pasal 2 dan 3 Undang Undang Nomor 31 tahun 1999 yang berasal dari pasal 1 ayat (1) sub a dan b Undang Undang Nomor 3 Tahun 1971, perkataan langsung atau tidak langsung merugikan…..dst, dihapus karena dalam hukum pidana Indonesia hanya mengenal “akibat yang langsung”. Jika dipakai “akibat tidak langsung”, berarti menganut teori von Buri mengenai teori kausalitas yang condition sine qua non yang menyatakan “semua sebab atau factor terjadinya akibat adalah sebab” dimana Indonesia dan Belanda menganut teori trager atau van kries, yang menyatakan bahwa yang menjadi sebab adalah yang seimbang (adequaat) dengan akibat. Jadi berdasarkan teori ini sebab yang tidak langsung tidak dapat diterima.
Kalimat lain yang dihapus adalah “atau patut diketahui….” Didalam pasal 1 ayat (1) sub a Undang Undang 3 Tahun 1971 menjadi pasal 2 undang Undang Nomor 31 tahun 1999, karena kalimat “atau patut diketahui…” berarti culpa yang berarti kerugian Negara yang timbul dapat terjadi karena kelalaian. Dengan dihapuskannya kalimat ‘atau patut diketahui…” berarti kerugiaan Negara yang terjadi harus dilakukan dengan sengaja.
Rumusan lain yang berubah dari delik materil pada pasal 1 ayat (1) sub a Undang Undang 31 Tahun 1971 menjadi delik formal pasal 2 undang undang nomor 31 tahun 1999 dengan didsisipkannya kalimat “dapat merugikan keuangan Negara atau prekonomian Negara”. Artinya, tidak perlu benar benar telah terjadi kerugian keuangan Negara, dengan ‘dapat’ atau mungkini menimbulkan kerugian Negara atau prekonomian Negara, maka unsur delik ini telah terpenuhi.
Dalam perakteknya, pasal pasal yang paling sering dipergunakan dalam menunutut perkara korupsi dipengadilan adalah dakwaan berdasarkan pasal 2 dan atau pasal 3 undang Undang nomor 31 Tahun 1999 jo Undang Undang Nomor 21 tahun 2001 (Pasal 1 ayat (1) sub a dan b Undang Undang Nomor 3 Tahun 1971), dengan kontruksi dakwaan secara alternative/subsidaritas yaitu: dakwaan primair dan subside.
Pasal 2 ayat (1) Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 berbunyi: “setiap orang yang secara melawan hukum perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugukan keuangan Negara atau prekonomian Negara, dipidana…..”
Bagian inti atau unsure (Bestanddelen) yang termuat dal pasal 2 ini adalah:
1. Melawan hukum
2. Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi, dan
3. Dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara.
C. Beberapa Aspek Pidana Korupsi
1. Melawan hukum
Sebagaimana diketahui, bahwa setiap delik _termasuk delik korupsi_ selalu mengundang sifat melawan hukum. Jika melawan hukum itu disebut secara tegas dalam rumusan delik, maka melawan hukum tersebut merupakan unsure / bagian inti. Konsekuensinya, adanya keharusan mencantumkan unsure melawan hukum itu dalam surat dakwaan dan harus pula membuktikan telah dilakukannya perbuatan melawan hukum. Jika perbuatan melawan hukum itu tidak tercantum secara tegas dalam rumusan delik, maka sifat melawan hukum itu tetap ada sebagai unsure yang tersirat (diam-diam). Hanya saja tidak perlu mencantumkan unsure melawan hukum dalam surat dakwaan, begitu pula dalam requisitoir tidak perlu membuktikan telah dilakukannya perbuatan melawan hukum oleh terdakwa, namun terdakwa atau penasehat hukumnya diberi kesempatan untuk membuktukan bahwa terdakwa tidak melawan hukum.
Pengertian melawan hukum menurut Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo undang Undang Nomor 21 tahun 2001 meliputi pengertian formil dan materil. Melawan hukum dalam arti formil dan arti materil yaitu, meskipun perbuatan tersebut tudak diatur dalam perundang undangan, namun apabila perbuatan tersebut tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehudupan social masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana.
Maksud dengan melawan hukum dalam arti formil, ialah apabila suatu perbuatan telah memnuhi rumusan undang undang atau unsure delik dengan sendirinya dianggap perbuatan tersebut telah melawan hukum. Pengertian melawan hukum dalam arti materil ialah bukan saja yang bertentangan dengan undang undang, tetapi juga perbuatan itu bertentangan dengan keputusan atau kelaziman dalam pergaulan atau norma norma social dalam masyarakat. Pengertian melawan hukum dalm arti materil ini, mendapat pengaruh yang kuat dari ajaran perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad) sehingga ada kecendrungan pandangan, seperti yang dikatakan oleh pompe, yaitu pengertiannya sama dengan onrechtmage daad didalam hukum perdata melalui Arrest Cohen Lindenbaum tanggal 31 januari 1919.
2. Memperkaya Diri Sendiri atau Orang Lian atau Korporasi
Istilah memperkaya diri sebagai istilah dalam unsure delik Undang Undang Nomor 3 tahun 1971 sebenarnya berasal daru Undang Undang Tindak Pidana Korupsi terdahulu (Undang undang No. 24 Prp tahun 1960). Akan tetapi, undang undang ini tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan istilah memperkaya itu.
Terhadap unsure memperkaya jelas merupakan delik materil. konsekuensinya harus dibuktikan seberapa jumlah uang atau asset yang telah terdakwa peroleh dengan delik itu. Sebenarnya, ada kaitan antara pasal 2 dan pasal 37 ayat (4) yang menyatakan kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya, maka keterangan tersebut dapat digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada, bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi.
3. Dapat Merugikan keuangan Negara
Unsure dapat merugikan keuangan Negara memang merupakan delik formil, artinya tidak perlu telah terjadi kerugian keuangan atau perekonomian Negara. Kendati begitu, menurut Andi Hamzah, tetap harus dibuktikan dapatnya Negara rugi. Jadi, harus dipanggil ahli akuntan untuk menilai menurut perhitungannya, dapatkah Negara rugi. Andi Hamzah menilai berlebihan terhadap penafsiran yang mengatakan bahwa dapat merugikan keuangan Negara adalah potensial merugikan keuangan Negara. Alasannya kata potensial itu luas sekali artinya. Misalnya, semua orang potensial melakukan kejahatan, sedangkan yang melakukan kejahatan hanya minoritas dari rakyat. Jadi menurut Andi Hamzah , terlampau luas jika kata dapat diartikan potensial. Mestinya tetap ada perhitungan oleh akuntan mengenai dapatnya Negara rugi.
Pasal 3 Undang Undang Nomor 31 tahun 1999 (pasal 1 ayat (1) sub b Undang Undang Nomor 3 Tahun 1971), mengandung unsure sebagai berikut:
1. Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi.
2. Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan.
3. Dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara.
4. Jika dilihat secara seksama, jelas sekali rumusan delik ini berbeda dengan yang tercantum pada pasal 2 Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999, yaitu tidak ada unsure melawan hukum. Jadi tidak perlu dicantumkan dalam dakwaan, dan tidak perlu dibuktukan. Sedangkan adanya pernyataan “ dengan tujuan menguntungkan diri sendiri” harus tercantum dalam dakwaan dan harus dibuktikan. Berhubungan dengan adanya ungkapan “ dengan tujuan” berarti delik ini harus dilakukan dengan sengaja, bahkan sengaja tingkat pertama yaitu sengaja sebagai maksud ( opzet als oogmerk)
Meskipun tidak secara tegas tercantum adanya unsure melawan hukum dalam rumusan pasal 3 tersebut, akan tetapi sifat melawan hukum itu tetap ada secara diam-diam atau tersirat, sebab tiap delik selalu ada sifat melawan hukum, apakah itu sebagai unsure yang tercantum secara tegas maupun sebagai unsure secara diam-diam.
Kemudian, adanya unsure “menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya, karena jabatan atau kedudukan” menunjukan bahwa delik ini mensyaratkan adanya pelaku delik yang harus mempunyai jabatan atau kedudukan yang disalahgunakan.
Istilah “jabatan’ konotasinya berarti dapat dipegang oleh pegawai negeri sipil oleh pejabat tetapi tidak oleh orang swasta, namun dengan adanya tambahan ungkapan “atau kedudukan”, maka subyek delik pasal 3 terbuka kemungkinan bagi non-pegawai negeri sipil (orang swasta), sebab tidak hanya pegawai negeri sipil yang mempunyai kedudukan, misalnya direktur bank swasta juga mempunyai kedudukan
Pada saat Undang Undang nomor 3 Tahun 1971 tentang Tindak Pidana Korupsi diundangkan pada tanggal 29 Maret 1971, berbagai harapan diungkapkan agar undang undang tersebut menjadi sarana yang efektif dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Ternyata apa yang diharapkan dengan kelahiran Undang Undang Nomor 31 tahun 1971 dalam perjalanan waktu masih belum dapat memenuhi harapan, karena dipandang sudah tidak sesuai dengan perkembangan kebutuhan hukum. Bahkan ada anggapan bahwa tidak efektifnya pemberantasan korupsi dalam kurun waktu sempurna undang undangnnya.
Memasuki era reformasi,pada tanggal 16 agustus 1999 diundangkan Undang Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menggantikan undang Undang nomor 3 Tahun 1971. Dalam perjelasan umum Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 ditegaskan, bahwa undang undang ini diharapakan mampu memenuhi dan mengantisipasi perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dalam rangka mencegah dan memberantas secara lebih efektif setiap bentuk tindak pidana korupsi yang sangat merugikan keuangan Negara maupun prekonomian Negara pada khususnya serta masyarakat pada umumnya.
Dari aspek nilai, Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 memiliki beberapa nilai tambah jika dibandingkan dengan undang Undang Nomor 3 Tahun 1971, antara lain:
1. Dalam kaitannya dengan partisipasi publik, untuk membantu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi, penerapan system pembuktian terbalik secara terbatas;
2. Kemudahan untuk membuka kerahasiaan bank tentang keadaan keuangan tersaangka/terdakwa tanpa harus meminta izin terlebih dahulu kepada Mentri Keuangan RI;
3. Mengatur tentang ancaman pidana minimum khusus, pidana denda yang lebih tinggi, dan ancaman pidana mati serta pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK);
4. Peran serta masyarakat dengan reward system dan dengan rincian tentang perlindungan hukum.
Bahwa tindak pidana korupsi yang terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan Negara tetapi juga telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak social dan ekonomi masyarakat secara luas, sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa. Di samping itu, untuk lebih menjamin kepastian hukum, menghindari keragaman penafsiran hukum dan memberikan perlindungan terhhadap hak-hak social dan ekonomi masyarakat serta perlakuan secara adil dalam memberantas tindak pidana korupsi, maka perlu diadakan perubahan atas Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang dikenal dengan Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
PEMBAHASAN
A. Pengertian Korupsi
Dalam Ensiklofedia Indonesia disebut ‘korupsi’ (dari bahasa latin: corruption= penyuapan; corrupture= merusak) gejala dimana para pejabat, badan-badan negara menyalahgunakan wewenang dengan terjadinya penyuapan, pemalsuan, serta ketidak beresan lainnya. Adapun arti harfiah dari korupsi dapat berupa:
a. Kejahatan, kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan, dan ketidak jujuran.
b. Perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok.
Secara harfiah korupsi merupakan suatu yang busuk, jahat, dan merusak. Jika membicarakan tentang korupsi memang akan menemukan kenyataan semacam itu karena korupsi menyangkut segi-segi moral, sifat dan keadaan yang busuk, jabatan dalam instansi atau aparatur pemerintah, penyelewengan kekuasaan dalam jabatan karena pemberian, factor ekonomi dan politik, serta penempatan keluarga atau golongan kedalam kedinasan dibawah kekuasan jabatannya. Dengan demikian, secara harfiah dapat ditarik kesimpulan bahwa sesungguhya istilah korupsi memiliki arti yang sangat luas.
1. Korupsi, penyelewengan atau penggelapan (uang Negara atau peruusahaan dan sebagainya) untuk kepentingan peribadi maupun orang lain.
2. Korupsi; busuk; rusak; suka memakai barang atau uang yang dipercayakan kepadanya; dapat disogok (melalui kekuasaannya atau kepentingan peribadi).
Adapun menurut Subekti dan Tjitrosoudibio dalam kamus hukum, yang dimaksud corruptive adalah korupsi; perbuatan curang; tindak pidana yang merugikan keuangan Negara.
B. Perubahan Perumusan Delika
Undang Undang Nomor 3 Tahun 1971 apabila dibandingkan dengan Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah dan ditambah dengan undang Undang Nomor 21 Tahun 2001, maka salah satu perubahannya adalah perubahan rumusan delik.
Rumusan delik yang termuat dalam Undang undang Nomor 3 tahun 1971 hanya tujuh (7) pasal dari dua puluh enam (26) pasal yang ada dalam undang undang tersebut. Ketujuh pasal tersebut adalah pasal 1 ayat (1) sub a,b,d dan e; pasal-pasal 29,30 dan 31. Tetapi untuk pasal 29 sampai pasal 31 tidak berkenaan dengan korupsi dalam arti materil dan keuangan, hanya mengenai perbuat Undang Undang nomor 3 tahun 1971 yang mempersulit pemeriksaan perkara korupsi pada tingkat penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan dimuka perrsidangan pengadilan. Dengan demikian, Korupsi dalam arti materil dan keuangan terdapat hanya dalam empat rumusan, yaitu sub a,b,d dan e dalam pasal 1 ayat (1). Sedangkan rumusan yang tercantum dalam pasal1 ayat (1) sub c adalah penarikan 13 pasal dari Kitab Undang Undang Hukum Pidana(KUHP).
Pasal 1 ayat (1) sub a Undang Undang Nomor 3 Tahun 1971, berubah menjadi pasal 2 Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 dengan beberapa perubahan redaksi. Begitu pula rumusan pasal 1 ayat (1) sub b Undang Undang Nomor 31 tahun 1971 menjadi pasal 3 Undang Undang Nomor 31 tahun 1999. Pasal 1 ayat (1) sub d Undang Undang Nomor 31 tahun 1971 menjadi pasal 13 Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang Undang Nomor 21 Tahun 2001. Pasal 1 ayat (1) sub e Undang Undang Nomor 3 Tahun 1971 dihapus karena tidak logis, seseorang tang telah melakukan perbuatan korupsi melaporkan diri dan apabila tidak melaporkan merupakan delik tersendiri. Dalam realitas tidak pernah ada orang yang dituntut berdasarkan pasal 1 ayat (1) sub e Undang Undang Nomor 3 Tahun 1971.
Dalam perumusan pasal 2 dan 3 Undang Undang Nomor 31 tahun 1999 yang berasal dari pasal 1 ayat (1) sub a dan b Undang Undang Nomor 3 Tahun 1971, perkataan langsung atau tidak langsung merugikan…..dst, dihapus karena dalam hukum pidana Indonesia hanya mengenal “akibat yang langsung”. Jika dipakai “akibat tidak langsung”, berarti menganut teori von Buri mengenai teori kausalitas yang condition sine qua non yang menyatakan “semua sebab atau factor terjadinya akibat adalah sebab” dimana Indonesia dan Belanda menganut teori trager atau van kries, yang menyatakan bahwa yang menjadi sebab adalah yang seimbang (adequaat) dengan akibat. Jadi berdasarkan teori ini sebab yang tidak langsung tidak dapat diterima.
Kalimat lain yang dihapus adalah “atau patut diketahui….” Didalam pasal 1 ayat (1) sub a Undang Undang 3 Tahun 1971 menjadi pasal 2 undang Undang Nomor 31 tahun 1999, karena kalimat “atau patut diketahui…” berarti culpa yang berarti kerugian Negara yang timbul dapat terjadi karena kelalaian. Dengan dihapuskannya kalimat ‘atau patut diketahui…” berarti kerugiaan Negara yang terjadi harus dilakukan dengan sengaja.
Rumusan lain yang berubah dari delik materil pada pasal 1 ayat (1) sub a Undang Undang 31 Tahun 1971 menjadi delik formal pasal 2 undang undang nomor 31 tahun 1999 dengan didsisipkannya kalimat “dapat merugikan keuangan Negara atau prekonomian Negara”. Artinya, tidak perlu benar benar telah terjadi kerugian keuangan Negara, dengan ‘dapat’ atau mungkini menimbulkan kerugian Negara atau prekonomian Negara, maka unsur delik ini telah terpenuhi.
Dalam perakteknya, pasal pasal yang paling sering dipergunakan dalam menunutut perkara korupsi dipengadilan adalah dakwaan berdasarkan pasal 2 dan atau pasal 3 undang Undang nomor 31 Tahun 1999 jo Undang Undang Nomor 21 tahun 2001 (Pasal 1 ayat (1) sub a dan b Undang Undang Nomor 3 Tahun 1971), dengan kontruksi dakwaan secara alternative/subsidaritas yaitu: dakwaan primair dan subside.
Pasal 2 ayat (1) Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 berbunyi: “setiap orang yang secara melawan hukum perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugukan keuangan Negara atau prekonomian Negara, dipidana…..”
Bagian inti atau unsure (Bestanddelen) yang termuat dal pasal 2 ini adalah:
1. Melawan hukum
2. Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi, dan
3. Dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara.
C. Beberapa Aspek Pidana Korupsi
1. Melawan hukum
Sebagaimana diketahui, bahwa setiap delik _termasuk delik korupsi_ selalu mengundang sifat melawan hukum. Jika melawan hukum itu disebut secara tegas dalam rumusan delik, maka melawan hukum tersebut merupakan unsure / bagian inti. Konsekuensinya, adanya keharusan mencantumkan unsure melawan hukum itu dalam surat dakwaan dan harus pula membuktikan telah dilakukannya perbuatan melawan hukum. Jika perbuatan melawan hukum itu tidak tercantum secara tegas dalam rumusan delik, maka sifat melawan hukum itu tetap ada sebagai unsure yang tersirat (diam-diam). Hanya saja tidak perlu mencantumkan unsure melawan hukum dalam surat dakwaan, begitu pula dalam requisitoir tidak perlu membuktikan telah dilakukannya perbuatan melawan hukum oleh terdakwa, namun terdakwa atau penasehat hukumnya diberi kesempatan untuk membuktukan bahwa terdakwa tidak melawan hukum.
Pengertian melawan hukum menurut Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo undang Undang Nomor 21 tahun 2001 meliputi pengertian formil dan materil. Melawan hukum dalam arti formil dan arti materil yaitu, meskipun perbuatan tersebut tudak diatur dalam perundang undangan, namun apabila perbuatan tersebut tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehudupan social masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana.
Maksud dengan melawan hukum dalam arti formil, ialah apabila suatu perbuatan telah memnuhi rumusan undang undang atau unsure delik dengan sendirinya dianggap perbuatan tersebut telah melawan hukum. Pengertian melawan hukum dalam arti materil ialah bukan saja yang bertentangan dengan undang undang, tetapi juga perbuatan itu bertentangan dengan keputusan atau kelaziman dalam pergaulan atau norma norma social dalam masyarakat. Pengertian melawan hukum dalm arti materil ini, mendapat pengaruh yang kuat dari ajaran perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad) sehingga ada kecendrungan pandangan, seperti yang dikatakan oleh pompe, yaitu pengertiannya sama dengan onrechtmage daad didalam hukum perdata melalui Arrest Cohen Lindenbaum tanggal 31 januari 1919.
2. Memperkaya Diri Sendiri atau Orang Lian atau Korporasi
Istilah memperkaya diri sebagai istilah dalam unsure delik Undang Undang Nomor 3 tahun 1971 sebenarnya berasal daru Undang Undang Tindak Pidana Korupsi terdahulu (Undang undang No. 24 Prp tahun 1960). Akan tetapi, undang undang ini tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan istilah memperkaya itu.
Terhadap unsure memperkaya jelas merupakan delik materil. konsekuensinya harus dibuktikan seberapa jumlah uang atau asset yang telah terdakwa peroleh dengan delik itu. Sebenarnya, ada kaitan antara pasal 2 dan pasal 37 ayat (4) yang menyatakan kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya, maka keterangan tersebut dapat digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada, bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi.
3. Dapat Merugikan keuangan Negara
Unsure dapat merugikan keuangan Negara memang merupakan delik formil, artinya tidak perlu telah terjadi kerugian keuangan atau perekonomian Negara. Kendati begitu, menurut Andi Hamzah, tetap harus dibuktikan dapatnya Negara rugi. Jadi, harus dipanggil ahli akuntan untuk menilai menurut perhitungannya, dapatkah Negara rugi. Andi Hamzah menilai berlebihan terhadap penafsiran yang mengatakan bahwa dapat merugikan keuangan Negara adalah potensial merugikan keuangan Negara. Alasannya kata potensial itu luas sekali artinya. Misalnya, semua orang potensial melakukan kejahatan, sedangkan yang melakukan kejahatan hanya minoritas dari rakyat. Jadi menurut Andi Hamzah , terlampau luas jika kata dapat diartikan potensial. Mestinya tetap ada perhitungan oleh akuntan mengenai dapatnya Negara rugi.
Pasal 3 Undang Undang Nomor 31 tahun 1999 (pasal 1 ayat (1) sub b Undang Undang Nomor 3 Tahun 1971), mengandung unsure sebagai berikut:
1. Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi.
2. Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan.
3. Dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara.
4. Jika dilihat secara seksama, jelas sekali rumusan delik ini berbeda dengan yang tercantum pada pasal 2 Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999, yaitu tidak ada unsure melawan hukum. Jadi tidak perlu dicantumkan dalam dakwaan, dan tidak perlu dibuktukan. Sedangkan adanya pernyataan “ dengan tujuan menguntungkan diri sendiri” harus tercantum dalam dakwaan dan harus dibuktikan. Berhubungan dengan adanya ungkapan “ dengan tujuan” berarti delik ini harus dilakukan dengan sengaja, bahkan sengaja tingkat pertama yaitu sengaja sebagai maksud ( opzet als oogmerk)
Meskipun tidak secara tegas tercantum adanya unsure melawan hukum dalam rumusan pasal 3 tersebut, akan tetapi sifat melawan hukum itu tetap ada secara diam-diam atau tersirat, sebab tiap delik selalu ada sifat melawan hukum, apakah itu sebagai unsure yang tercantum secara tegas maupun sebagai unsure secara diam-diam.
Kemudian, adanya unsure “menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya, karena jabatan atau kedudukan” menunjukan bahwa delik ini mensyaratkan adanya pelaku delik yang harus mempunyai jabatan atau kedudukan yang disalahgunakan.
Istilah “jabatan’ konotasinya berarti dapat dipegang oleh pegawai negeri sipil oleh pejabat tetapi tidak oleh orang swasta, namun dengan adanya tambahan ungkapan “atau kedudukan”, maka subyek delik pasal 3 terbuka kemungkinan bagi non-pegawai negeri sipil (orang swasta), sebab tidak hanya pegawai negeri sipil yang mempunyai kedudukan, misalnya direktur bank swasta juga mempunyai kedudukan
D. Penyebab Terjadinya Korupsi
Paling tidak ada tiga unsure yang menyebabkan seseorang malakukan korupsi atau kecurangan yaitu:
1. Adanya tekanan ( perceived pressure)
2. Adanya kesempatan ( perceived opportunity)
3. Berbagai cara untuk merasionalkan agar kecurangan tersebut dapat diterima ( some way to rationalize the fraund as acceptable)
Tekanan yang dialami seseorang sehingga menyebabkan terjadinya korupsi dapat dibagi menjadi empat yaitu:
1. Tekanan keuangan (pinancial pressure)
2. Sifat buruk (vices)
3. Tekanan yang berhubungan dengan pekerjaan (work-related pressure)
4. Tekanan yang lain (other pressure)
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Albecht tahun 2004, tekanan keuangan merupakan penybab utama terjadinya korupsi yaitu mencapai 95%. Factor kedua penyebab korupsi adalah kesempatan yaitu otoritas atau kewenangan seseorang untuk mengendalikan suatu asset atau melakukan akses terhadap asset. Sementara itu meningkatnya kesempatan individu melakukan korupsi paling tidak dipengaruhi oleh empat hal yaitu kurangnya pengendalian, ketidakmampuan menitai kualitas kerja, terbatasnya akses terhadap informasi, dan tidak adanya jejak audit.
Adanya tekanan dan kesempatan merupakan unsure utama terjadinya korupsi dal sebuah instansi pemerintahan maupun swasta. Sementara itu, unsure ketiga yaitu rasionalisasi memberikan kontribusi terhadap korupsi karena rasionalisasi memberikan suatu pembenaran terhadak kecurangan yang dilakukan. Meskipun tidak memiliki alas an yang kuat, pembenaran tersebut tidak dapat di pertanggung jawabkan dari segi moral dan etika.
E. Upaya Mencegah Terjadinya Korupsi
Adanya hubungan akuntansi yang tidak masuk akal, adanya pengaduan lewat telepon, seseorang yang gerak geriknya mencurigakan, hilangnya dokumen, catatan dalm buku besar yang saldonya tidak sama, dan berubahnya gaya hidup seseorang yang mencolok, semua peristiwa tersebut hanya merupakan gejala dan belum tentu merupakan bukti terjadinya kecurangan atau koripsi. Untuk mendeteksi korupsi, pimpinan, auditor, karyawan, dan investigator harus belajar untuk mengenal gejala terjadinya korupsi. Gejala terjadinya korupsi dapat dibagi menjadi enam tipe yaitu penyimpangan akuntansi, lemahnya pengendalian intern,analisis terhadap keganjilan, gaya hidup mewah, adanya pengaduan, dan perilaku yang tiddak biasa.
Salah satu unsure penting dalam mendeteksi terjadinya korupsi adalah kemampuan untuk mengenal dan mengidentifikasi secara cepat dan tepat terhadap potensi terjadinya korupsi. Adanya bukti-bukti seperti tersebut diatas merupakan bukti yang sifatnya tidak langsung. Petunjuk awal terhadap adanya korupsi biasanya ditujukan pula dengan gejala-gejala seperti adanya keluhan yang berlebihan di masyarakat, terdapat konplik kepentingan, adanya indikasi suap, pembayaran diatas harga normal, hubungan yang sangat erat dan berlebihan dengan rekanan, mengistimewakan rekan tertentu, dan kontrak kerja yang sangat panjang serta kurang adanya evaluasi.
Ada tiga komponen dalam pengendalian intern dari suatu instansi pemerintahan maupun swasta yaitu:
1. Lingkungan Pengendalian (the Control environment)
Lingkungan pengendalian merupakan suasana yang menunjukan bahwa suatu instansi dibentuk untuk karyawan. Unsure yang sangat penring dari lingkungan pengendalian adalah peran manajemen dan pemberian contoh. Jika terdapat sejumlah contoh dari ketidak jujuran atau perilaku yang tidak etis dari manajemen maka hal tersebut akan dipelajari dan ditiru oleh para karyawan. Disamping itu unsure lain yang penting dalam pengendalian lingkungan adalah komunikasi yang baik, rekruitmen yang efektif, struktur organisasi yang jelas serta adanya auditor internal yang efektif.
2. System Akuntansi (Accounting system)
Setiap aktifitas kecurangan atau korupsi terdiri dari tiga unsure yaitu, pencurian (theft) asset, penyembunyiaan (concealment), konversi (conversion), yaitu aktivitas dimana pelaku kecurangan membelanjakan uang tersebut untuk keperluan peribadi. Suatu sitem akuntansi yang baik menyediakan jejak audit (audit trial0, yang memungkinkan suatu kecurangan diketemukan dan kesulitan untuk menyembunyikannya. Tanpa adanya akuntansi yang baik, sangat sulit untuk membedakan antara kecurangan dengan kesalahan yang tidak disengaja. System akuntansi yang baik akan menjamin bahwa pencatatan atas teransaksi keuangan dengan valid, telah diotorisasi, lengkap, dikelompokan secara benar, dilaporkan pada periode yang benar, dan di ikhtisarkan secara benar.
3. Aktifitas atau Prosedur Pengendalian (control actifities)
Instansi yang memiliki banyak karyawan harus mempunyai prosedur pengendalian sehingga setiap tindakan karyawan sejalan dengan tujuan manajemen. Dengan adanya prosedur pengendalian, kesempatan untuk melakukan dan atau menyembunyikan kecurangan dapat dieliminasi dan diminimalisir. Secara umum ada lima prosedur pengendalian yaitu pemisahan tugas atau pengawasan rangkap, system otorisasi, independent, check, pengamanan secara fisik,dan dokumen atau pencatatan.
Lingkungan pengendalian, system akuntansi, dan perosedur pengendalian atau aktifitas bekerja secera bersama sama untuk mengeliminasi atau mengurangi kesempatan untuk melakukan kecurangan atau korupsi. Suatu lingkungan pengendalian yang baik dapat menciptakan suatu suasana dimana perilaku yang baik dapat diterapkan.suatu system akuntansi menyediakan suatu catatan yang akan menyulitkan para pelaku korupsi untuk melakuan akses terhadap aktiva organisasi, menyembunyikan kecurangan, dan mengkonversi aktiva yang dicuri tanpa diketahui. Ketiga komponen tersebut akan membentuk, struktur pengendalian dalam suatu instansi pemerintahan maupun swasta.
F. Menciptakan budaya kejujuran, Keterbukaan dan Asistensi
Terdapat tiga factor yang dpat mencegah terjadinya korupsi yaitu menciptakan budaya kejujuran, keterbuakaan, dan saling membantu. Ketiga factor tersebut adalah merekrut pegawai yang jujur dan melatihnya tentang kesadaran akan resiko malakukan korupsi, menciptakan suatu lingkungan kerja yang positif, menyebarkan pemahaman yang baik dan penghormatan terhadap kode etik, menyediakan program pelatihan bagi karyawan.
PENUTUP
Hal-hal yang sangat mendasar untuk diperhatikan dalam penegakan hukum memberantas korupsi adalah tekad dan komitmen terhadap perbuatan korupsi sebagai musuh yang harus diberantas. selain itu, sebagai penegak hukum dan keadilan, hendaknya menjaga integritas moral dalam melaksanakan tugas dan fungsi pradilan. Bagaimanapun baiknya perangkat hukum dan system yang ada, jika aparat penegak hukumnya tidak memiliki integritas moral yang tinggi, maka niscaya apa yang kita harapkan tidak akan tercapai.
Peningkata profesionalisme dengan penguasaan ilmu pengetahuan hukum dan asas-asas hukum dan perundang-undangan yang berlaku merupakan factor yang amat menentukan dalam melaksanakan tugas peradilan, dan yang tidak kurang pentingnya pula adalah memperbanyak pengalaman, pendalaman, dan pengamatan terhadap peraktek peradilan itu sendiri.
Pemerintah perlu membenahi peraturan perundang-undangan nasional yang berkaitan dengan pemberantasan korupsi yang didukung juga dengan system administrasi pemerintah yang memadai. Kebijakan pemerintah dalam pemberantasan korupsi harus diperkuat dengan kebijakan keuangan Negara serta didikuti partisipasi dan tanggung jawab social dari seluruh lapisan masyarakat, khususnya LSM dan para anggota DPR/DPRD.
Daftar Pustaka
Adji Indriyanto Seno, Korupsi dan Hukum Pidana, Kantor Pengacara dan Konsultan
Hukum,Jakarta, 2001.
Hamzah Andi, Pemberantasan Korupsi Melalui hukum Pidana Nasional dan
Internasioonal,Jakarta, PT. Raja grapindo Persada, 2004.
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung, 1977.
Suradi, Korupsi dalam Sektor Pemerintahan dan Swasta, Yogyakarta, gava media,
2006
Hartanti Evi, Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, sinar grafika, 2007