Minggu, 30 Agustus 2009

Kaitan Korupsi Dengan HAM

PENDAHULUAN
Kaitan Korupsi Dengan HAM Dan Gambarannya

Setelah demokrasi, penegakan Hak Asasi Manusia merupakan elemen penting untuk perwujudan sebuah Negara yang berkeadaban (Civilized Nation) . Hak Asasi Manusia ini tertuang dalam Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia . Dalam salah satu bunyi pasalnya ( Pasal 1 ) secara tersurat dijelaskan bahwa Hak Asasi Manusia ( HAM ) adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrahnya yang wajib dihormati, dijunjung dan dilindungi oleh Negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Menurut DUHAM (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia), terdapat lima jenis hak asasi yang dimiliki oleh setiap individu : Hak personal (hak jaminan kebutuhan pribadi), hak legal (hak jaminan perlindungan hukum) : Hak sipil dan politik ; hak substansi (hak jaminan adanya sumber daya untuk menunjang kehidupan), hak ekonomi, sosial dan budaya. i
Menurut Pasal 3-21 DUHAM, hak personal, hak legal, hak sipil dan politik diantaranya meliputi kurang lebih 20 point. Karena dalam makalah ini untuk selanjutnya yang lebih spesifik akan di bahas mengenai “ korupsi “ maka ketika saya melihat dari sudut pandang HAM jelas bahwa hal tersebut sangat menyalahi peraturan. Seorang koruptor tidaklah lagi mementingkan kepentingan bersama yang ada seorang koruptor hanyalah menjalankan kepentingan pribadi, secara tidak langsung telah mengambil hak kita, oleh sebab itu perlindungan hukum haruslah ditegakkan.
Dalam UUD 1945 ditegaskan bahwa Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (Rechstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machstaat) ini berarti bahwa Republik Indonesia adalah Negara hokum yang demokratis berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia dan menjamin semua warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hokum dan pemerintahan serta wajib menjunjung hukum dan pemerintahan tanpa ada kecualinya.
Hukum menetapkan apa yang harus dilakukan dan atau apa yang boleh dilakukan serta yang dilarang. Sasaran hukum yang hendak yang hendak dituju bukan saja orang yang nyata-nyata berbuat melawan hukum, melainkan juga perbuatan hukum yang mungkin akan terjadi, dan kepada alat perlengkapan negara untuk bertindak menurut hukum. Sistem bekerjanya hukum yang demikian itu merupakan salah satu bentuk penegakan hukum.
Proses pembangunan dapat menimbulkan kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat juga mengakibatkan perubahan kondisi social masyarakat yang memiliki dampak social negative, terutama menyangkut masalah peningkatan tindak pidana yang meresahkan masyarakat. Salah satu tindak pidana yang dapat dikatakan cukup fenomenal adalah masalah korupsi. Tindak pidana ini tidak hanya merugikan keuangan Negara, tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak social dan ekonomi masyarakat.
Kasus-kasus tindak pidana korupsi sulit diungkapkan karena pada pelakunya menggunakan peralatan canggih serta biasanya dilakukan oleh lebih dari satu orang dalam keadaan yang terselubung dan terorganisasi oleh karena itu, kejahatan ini sering disebut While collar Crime atau kejahatan kerah putih.
Korupsi di Indonesia terus menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Tindak pidana korupsi sudah meluas dalam masyarakat, baik dari jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian Negara, maupun dari segi kualitas tindak pidana yang dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya yang memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat.
Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana, tidak saja bagi kehidupan perekonomian nasional, juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara. Hasil survey Transparency International Indonesia ( TII ) menunjukkan Indonesia merupakan Negara paling korup nomor enam dari 133 Negara. Tiga sector paling rawan terhadap tindak pidana korupsi adalah Partai Politik, Kepolisian, dan Pengadilan Sementara itu, kecenderungan masyarakat memberikan suap paling banyak terjadi di sector non konstruksi, pertahanan keamanan, migas, perbankan dan property. Merajalelanya korupsi adalah karena factor perangkat hukumnya lemah. Menyalahkan atau mengubah Undang-Undang memang lebih mudah daripada menyeret koruptor ke muka pengadilan.ii
Dalam berbagai hal tentang gambaran korupsi, maka dalam bab selanjutnya akan lebih diperjelas.

PEMBAHASAN
A.Pengertian Tindak Pidana
Istilah “ Tindak Pidana “ adalah dimaksudkan sebagai terjemahan dalam bahasa Indonesia untuk istilah bahasa Belanda “Stafbaar feit“ atau “Delict“.
Untuk terjemahan itu, dalam bahasa Indonesia disamping istilah “ Tindak Pidana “ juga telah dipakai dan beredar beberapa istilah lain baik dalam buku-buku ataupun dalam peraturan tertulis, antaralain : (1) Perbuatan yang dapat dihukum . (2) Peristiwa pidana . (3) Perbuatan yang boleh dihukum. (4) Pelanggaran pidana. (5) Perbuatan Pidana.iii
Dalam bahasa Belanda Straafbaar feit terdapat dua unsur pembentuk kata, yaitu Straafbaar dan Feit. Kata feit diartikan sebagian dari kenyataan, sedang Straabaar berarti dapat dihukum, sehingga secara harfiah perkataan, Strafbaar feit berarti sebagian dari kenyataan yanang dapat dihukum.

Menurut pendapat para pakar :
1.Simons

Dalam rumusannya Strafbaar feit itu adalah “ Tindakan melanggar hokum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun dengan tidak sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggung jawabkan atas tindakannya dan oleh Undang-Undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat di hukum.
2.Moeljatno
Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan yang mana disertai sanksi berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar aturan tersebut, atau perbuatan yang diancam pidana asal saja dalam hal itu diingat bahwa larangan ditujukan pada perbuatan ( yaitu kejadian atau yang ditimbulkan oleh kelakuan orang, sedang ancaman pidananya ditujukan pada orang yang menimbulkan kejahatan.
3.Poempe
Perkataan Straafbaar feit secara teoritis dapat dirumuskan sebagai suatu pelanggaran : Pelanggaran norma atau gangguan terhadap tertib hukum yang dengan sengaja atau tidak sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku itu adalah penting demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum.
4.E. Utrecht
Menterjamahkan Straafbaar feit dengan istilah peristiwa pidana yang sering juga Ia sebut delik, karena peristiwa itu suatu perbuatan handelen atau doen positif atau suatu melalaikan nalaten-negatif, maupun akibatnya ( Keadaan yang ditimbulkan karena perbuatan atau melalaikan itu ). Peristiwa pidana merupakan suatu peristiwa hukum (Rechtsfeit), yaitu peristiwa kemasyarakatan yang membawa akibat yang diatur oleh hukum.

B.Definisi-definisi Korupsi
Definisi korupsi di dalam kamus lengkap Webster’s Third New International Dictionary adalah ajakan (dari seorang pejabat politik) dengan pertimbangan – pertimbangan yang tidak semestinya (misalnya suap) untuk melakukan pelanggaran tugas, literatur tentang korupsi memuat beberapa definisi yang bermanfaat. Sebuah definisi yang banyak dikutip adalah ;
“Tingkah laku yang menyimpang dari tugas-tugas resmi sebuah jabatan Negara karena keuntungan status atau uang yang menyangkut pribadi (perorangan, keluarga dekat, kelompok sendiri), atau melanggar aturan-aturan pelaksanaan beberapa tingkah laku pribadi.”
Secara historis konsep tersebut merujuk sekaligus pada tingkah laku politik dan seksual. Kata latin Corruptus, “Corrupt“ menimbulkan serangkaian gambaran jahat; kata itu berarti apa saja yang merusak keutuhan. Ada nada moral pada kata tersebut.
Definisi-definisi itu tidaklah statis, pemahaman rakyat tentang apa yang di sebut “Corrupt” itu berkembang. Sepanjang waktu masyarakat lambat laun mampu membuat pembedaan yang lebih tajam antara “suap“ atau “transaksi“ dan semakin mampu membuat pembedaan-pembedaan ini berlaku dalam praktek. Dan dalam setiap zaman, suatu masyarakat cenderung menemukan sekurang–kurangnya empat definisi suap yang berbeda; “definisi dari kaum moralis yang lebih maju ; definisi hukum sebagaimana tertulis ; definisi hukum sejauh ditegakkan ; definisi praktek yang lazim“iv
Dalam arti luas, korupsi berarti menggunakan jabatan untuk keuntungan pribadi. Jabatan adalah kedudukan kepercayaan. Seseorang diberi wewenang atau kekuasaan untuk bertindak atas nama lembaga. Lembaga itu bisa lembaga swasta, lembaga pemerintah, atau lembaga nirlaba. Korupsi berarti memungut uang yang bagi layanan sudah seharusnya diberikan, atau menggunakan wewenang untuk mencapai tujuan-tujuan yang tidak sah. Korupsi adalah tidak melaksanakan tugas karena lalai atau di sengaja. Korupsi bisa mencakup kegiatan yang sah dan tidak sah. Korupsi dapat terjadi di dalam tubuh organisasi (misalnya pemerasan). Korupssi kadang-kadang dapat membawa dampak positif dibidang sosial, namun pada umumnya korupsi menimbulkan inefisiensi, ketidakadilan dan ketimpangan.v


1.Macam-macam korupsi
Korupsi Kecil

Korupsi kecil dapat mengacu pada pembelokan peraturan resmi demi keuntungan teman, sebagaimana diwujudkan dalam laporan yang agak tidak jujur mengenai soal-soal rinci, pengabaian tanggal pemutusan (cut of dates ), “ penetapan “ karcis parkir dan lain-lain.
Korupsi Rutin
Dalam lingkungan Patron-Klien tradisional, banyak hadiah yang diterima oleh pejabat pemerintahan kurang jelas hubungannya dengan kewajiban-kewajiban khusus, akan tetapi merupakan praktek yang baku dalam arti kata bahwa mereka berulang hampir menurut musim. Bantuan Patron sama pentingnya dalam melamar pekerjaan pemerintah seperti beberapa dasawarsa yang lalu di Chicago, meskipun tidak ada mesin partai. Oleh karena itu, dalam lingkungan ini semua kegiatan yang dapat dianggap “ korupsi rutin ‘ oleh standar Barat yang resmi merupakan prosedur tetap yang berakar kokoh dalam hubungan dan kewajiban sosial yang lebih umum.
Korupsi Yang Menjengkelkan
Diantara masyarakat-masyarakat yang berdasarkan hubungan majikan patronase, justru frekuensi kejadian korupsi yang menjengkelkan inilah yang membedakan masa “Pembaharuan“ dari masa dikotori“ oleh aib atau “kata korup” dari “kota mesin“. Jadi, sebagian besar dari keanekaragaman tingkah laku korup hanya terjadi kadang-kadang dalam“ kota mesin“ yang diperintah lebih baik di Amerika abad ke-20, akan tetapi variasi itu merupakan praktek standar dalam kota yang oleh John A Gardiner disebut Wincaton.vi


2.Sifat-sifat Korupsi
Baharuddin Lopa dalam bukunya kejahatan korupsi dan penegakan Hukum membagi korupsi menurut sifatnya dalam dua bentuk, yaitu :
a.Korupsi Yang Bermotif Terselubung
Yakni korupsi secara sepintas kelihatannya bermotif politik, tetapi secara tersembunyi sesungguhnya bermotif mendapatkan uang semata.
b.Korupsi Yang Bermotif Ganda
Yaitu seseorang melakukan korupsi secara lahiriah kelihatannya hanya bermotif mendapatkan uang, tetapi sesungguhnya bermotif lain, yakni kepentingan politik.


UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 31 TAHUN 1999
TENTANG
PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang :
a.Bahwa tindak pidana korupsi sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dan menghambat pembangunan nasional, sehingga harus diberantas dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
b.Bahwa akibat tindak Pidana Korupsi yang terjadi selama ini selain merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, juga menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi.
c.Bahwa Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang pemberantasan tindak Pidana Korupsi sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat, karena itu perlu diganti dengan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang baru sehingga diharapkan lebih efektif dalam mencegah dan memberantas Tindak Pidana Korupsi.
d.Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, dan c perlu dibentuk Undang-Undang yang baru tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Mengingat :
1.Pasal 5 ayat ( 1 ) dan Pasal 20 ayat ( 1 ) Undang-Undang Dasar 1945 ;
2.Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XI / MPR / 1998 tentang Penyelenggara Negara yang bersih dan bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
Dengan Persetujuan


DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
1.Di dalam Lampiran Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang berupa sistematika teknik penyusunan Perundang-undangan ditentukan bahwa konsiderans dari suatu Undang-undang memuat unsur-unsur filosofis, yuridis dan sosiologi yang menjadi latar belakang pembuatannya.
Jika konsiderans dari Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 diperhatikan, dapat diketahui bahwa konsiderans dari Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tersebut telah memenuhi konsiderans seperti yang dimaksud oleh Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tersebut, karena :
I.Unsur filosofis
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 dibuat dalam rangka untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila UUD 1945.
II.Unsur Yuridis
Undang-undang Nomor 31 Tahun 31 Tahun 1999 dibuat atas dasar Tap. MPR Nomor XI / MPR / 1998 Untuk mengganti Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 yang dinilai sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat.
III.Unsur Sosiologis
Dengan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 diharapkan upaya untuk mencegah dan memberantas Tindak Pidana Korupsi dapat lebih efektif, karena Tindak Pidana Korupsi sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dan menghambat pembangunan nasional.
2.Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme sudah tepat dan benar tidak dijadikan salah satu dasar hukum dibuatnya Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999, karena didalam Undang-undang nomor 28 Tahun 1999 tidak ada ketentuan yang memerintahkan dibuatnya Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999.
Menariknya, Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 terjadi dijadikan salah satu dasar hukum dibuatnya Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999.
Adapun yang memerintahkan dibuatnya Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 adalah Tap. MPR Nomor XI / MPR / 1998.vii

C.Wewenang JAKSA Dan POLRI Serta Peranannya
1.Kewenangan Jaksa Dalam Penyidikan Tindak Pidana Tertentu
Pada pasal 1 butir 1 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang kejaksaan Republik Indonesia ditentukan bahwa jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum serta wewenang lain berdasarkan undang-undang. Adapun lembaga negara pemerintahannya disebut kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum.
Sebagaimana telah dijelaskan, bahwa wewenang jaksa adalah bertindak sebagai penuntut umum dan sebagai eksekutor. Adapun yang dimaksud dengan penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya (Pasal 1 butir 2 KUHAP).
Pasal 91 ayat (1) KUHAP mengatur tentang kewenangan jaksa (penuntut umum) untuk mengambil alih berita acara pemeriksaan. Seyogianya jika tidak ada kewenangan untuk melakukan penyidikan maka berita pemeriksaan itu diambil alih dan dapat ditafsirkan tidak sah. Sesuai pasal 284 ayat ( 2 ) KUHAP yang menyatakan :
“ Dalam waktu dua tahun setelah undang-undang ini diundangkan, maka terhadap semua perkara diberlakukan ketentuan undang-undang ini, dengan pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu, sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi“.
Bahwa yang dimaksud dengan “ketentuan khusus acara Pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu“ adalah ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada :
1.Undang-undang tentang pengusutan, penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi (Undang-undang Nomor 7 Darurat Tahun 1955);
2.Undang-undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971).
Dengan catatan bahwa semua ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada Undang-undang tertentu akan ditinjau kembali, diubah atau dicabut dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.
Agar supaya ada kesatuan pendapat mengenai makna dari pasal 284 ayat (2) KUHAP, dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983, disebutkan :
“Penyidik menurut ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada Undang-undang tertentu sebagaimana dimaksud dalam pasal 284 ayat (2) KUHAP dilaksanakan oleh penyidik, Jaksa dan Pejabat Penyidik yang berwenang lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan“.


2.Kewenangan POLRI
Tugas penyidikan ada ditangani POLRI, sebagaimana diatur dalam pasal 1 butir 1 KUHAP yang menyatakan : “Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pegawai pejabat negri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-undang untuk melakukan penyidikan “ dan diatur lebih lanjut pada pasal 6 KUHAP. viii
Berdasarkan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan Hukum Acara Pidana dan Peraturan Perundang-undangan lainnya.
Wewenang kepolisian dalam proses pidana (Pasal 16) :
Huruf a : Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan ;
Huruf b : Melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan ;
Huruf c : Membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan.
Huruf d : Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri.
Huruf e : Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat ;
Huruf f : Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka saksi ;
Huruf g : Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara ;
Huruf h : Mengadakan penghentian penyidikan ;
Huruf i : Menyerahkan bekas perkara kepada penuntut umum ;
Huruf j : Mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang berwenang di tempat pemeriksaan Imigrasi dalam keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang untuk melakukan tindak pidana;
Huruf k : Memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik PNS serta menerima hasil penyidikan penyidik PNS untuk di serahkan kepada penuntut umum.
Huruf l : Mengadakan tindakan lain merawat hukum yang bertanggung jawab.
D.Komisi Peberantasan Korupsi
Dalam rangka mewujudkan supremasi hukum, pemerintah telah melatakkan landasan kebijakan yang kuat dalam usaha memerangi tindak pidana korupsi semua kebijakan tersebut tertuang dalam berbagai Peraturan perundang-undangan. Berdasarkan ketentuan pasal 43 undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana korupsisebagaimana telah diubah dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001, badan khusus tersebut yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK ).
1.Tugas Komisi Pemberantasan Korupsi
a.Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan tindak pidana korupsi.
b.Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
c.Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap Tindak Pidana Korupsi.
d.Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi.
e.Melakukan monitor terhadap Penyelengaraan Pemerintahan Negara ( Pasal 6 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002.
2.Wewenang Komoisi Pemberatasan Korupsi
a.Mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan Tindak Pidana Korupsi.
b.Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
c.Meminta informasi tentang kegiatan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
d.Melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
e.Meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan Tindak Pidana Korupsi ( Pasal 7 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 ).
f.Wewenang lain bisa dilihat dalam pasal 12, 13, dan 14 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 ).

3.Kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi
Komisi Pemberantasan Korupsi berkedudukan di Ibu kota Negara Republik Indonesia dan wilayah kerjanya meliputi seluruh wilayah Negara Republik Indonesia. Komisi Pemberantasan Korupsi dapat membentuk perwakilan di daerah provinsi.
Komisi Pemberantasan Korupsi terdiri atas :
a. Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi yang terdiri atas lima anggota Komisi Pemberantasan Korupsi.
b.Tim penasihat yang terdiri atas empat anggota.
c.Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai pelaksana tugas (Pasal 21 ayat (1 ) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 ).
Penyelidikan
Penyelidik adalah penyelidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2002). Penyelidik melaksanakan fungsi penyelidikan tindak pidana korupsi dalam waktu paling lambat tujuh hari kerja terhitung sejak tanggal ditemukan bukti permulaan yang cukup, penyelidik melaporkan kepada KPK. Bukti permulaan yang cukup dianggap telah ada apabila telah ditemukan sekurang-kurangnya dua alat bukti. Dalam hal penyelidik melakukan tugasnya tidak menemukan bukti permulaan yang cukup, penyelidik melaporkan kepada KPK dan KPK menghentikan penyelidikan. Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi berpendapat bahwa perkara tersebut diteruskan, KPK melaksanakan penyidikan sendiri atau dapat melimpahkan perkara tersebut kepada penyidik kepolisian atau kejaksaan.
Penyidikan
Penyidikan adalah penyidik pada KPK yang diangkat dan diberhentikan oleh Korupsi Pemberantasan Korupsi (Pasal 45 Ayat (1) Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002).
Penyidik melaksanakan fungsi penyidikan Tindak Pidana Korupsi. Atas dasar dugaan yang kuat adanya bukti permulaan yang cukup, penyidik dapat melakukan penyitaan tanpa izin ketua Pengadilan Negri berkaitan dengan tugas penyidikannya. Penyidik wajib membuat berita acara penyitaan pada penyitaan yang memuat :
a.Nama jenis dan jumlah barang atau benda berharga lain yang disita.
b.Keterangan tempat, waktu, hari, tanggal, bulan dan tahun dilakukan penyitaan.
c.Keterangan mengenai pemilik atau yang menguasai barang atau benda berharga lain.
d.Tanda tangan dan identitas penyidik yang melakukan penyitaan.
e.Tanda tangan dan identitas dari pemilik atau orang yang menguasai barang tersebut.

Penuntutan
Penuntutan adalah penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan diberhentikan oleh KPK. Penuntut adalah Jaksa Penuntut Umum. Penuntut umum, setelah menerima berkas perkara dari penyidik, paling lambat 14 (empat belas) hari kerja wajib melimpahkan berkas perkara tersebut kepada Pengadilan Negeri.
Pemeriksaan di Sidang Pengadilan
Perkara tindak Pidana Korupsi diperiksa dan diputuskan oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dalam waktu 90 hari kerja sejak perkara dilimpahkan ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi . Pemeriksaan perkara dilakukan oleh majelis hakim berjumlah 5 (Lima) orang yang terdiri atas 2 (dua) orang hakim Pengadilan Negri dan 3 (tiga) orang hakim ad hoc.
Dalam hal putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dimohonkan banding ke Pengadilan Tinggi, perkara tersebut diperiksa dan diputuskan dalam Jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari kerja sejak berkas perkara diterima oleh Pengadilan Tinggi.
Dalam hal putusan Pengadilan Tinggi Tindak Pidana Korupsi dimohonkan kasasi kepada Mahkamah Agung, perkara tersebut diperiksa dan diputuskan dalam jangka waktu paling lama 90 ( sembilan puluh ) hari kerja terhitung sejak tanggal berkas perkara diterima oleh Mahkamah Agung.
Dalam hal seseorang dirugikan akibat penyelidikan , penyidikan, penuntutan, yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi secara bertentangan dengan Undang-undang atau hukum yang berlaku, orang yang bersangkutan berhak untuk mengajukan gugatan rehabilitas dan atau kompensasi. Gugatan tidak mengurangi hak orang yang dirugikan untuk mengajukan gugatan pra peradilan. Gugatan diajukan ke Pengadilan Negri yang berwenang mengadili perkara Tindak Pidana Korupsi. Putusan Pengadilan Negri dalam hubungan dengan gugatan, harus ditentukan jenis, jangka waktu, dan cara pelaksanaan rehabilitas dan atau kompensasi yang harus dipenuhi KPK.ix

PENUTUP
Demikian uraian-uraian tentang tindak pidana korupsi dan penegakannya, yang telah dijabarkan pada bab-bab sebelumnya. Dan kita dapat menarik kesimpulan sebagai berikut :
1.Tindak pidana korupsi adalah pelanggaran pidana yang menggunakan jabatan untuk keuntungan pribadi.
2.Penegakan hukum mengenai pemberantasan tindak pidana korupsi telah tercantum pada Undang-undang RI No. 31 Tahun 1999.
3.Demi terwujudnya supremasi hukum pemerintah membuat landasan kebijakan yang kuat dalam usaha memerangi tindak pidana korupsi, maka dibuat badan hukum yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi.
4.Pihak-pihak yang berwenang untuk melakukan penyidikan atau penyelidikan antara lain : Jaksa, Polri, dan lembaga-lembaga pembantu lainnya yang masih terkait.